Minggu, 18 Juni 2017

BARBAROSSA, MUJAHID HEBAT DI LAUTAN

Mungkin sejenak terlintas pertanyaan di benak kita siapa sosok yang muncul dalam opening kartun animasi Spongebob Squarepants. Nampak seorang bajak laut, dengan icon familiar, satu penutup mata, topi hitam yang dilabeli tengkorak, dan janggut merah tebal. Tidak hanya di Spongebob Squarepants, sosok ini pun hadir di salah satu film Hollywood terkenal, the Pirates of Carribean yang saat ini disenangi oleh masyarakat. Tokoh ini dikenal dengan nama Barbarossa. Sosok yang dikenal sebagai bajak laut yang kejam dan tak pandang bulu terhadap musuhnya. 

Namanya saja bajak laut, yah sudah jelas bahwa dia adalah seorang yang jahat dan ringan tangan terhadap orang lain.  Namun tahukah anda, Barbarossa adalah seorang Mujahid Muslim. Barbarossa sendiri merupakan julukan yang berarti si janggut merah karena ciri khasnya yang memiliki janggut berwarna merah. Barbarossa atau yang dikenal dengan nama Khairuddin Barbarossa adalah sosok yang sangat disegani oleh umat Muslim, sosok yang baik hati dan keras terhadap kemungkaran. Sosok yang dihadirkan Allah ketika masa Dinasti Ummayah, Andalusia, Spanyol kian terpuruk. 

Barbarossa, seorang yang memantapkan dirinya untuk menetap di lautan dikarenakan adik bungsunya tewas akibat serangan kapal militer Eropa, Knight of Rhodes. Dia pun bersumpah untuk melakukan penyerangan pada setiap kapal-kapal militer Kristen Eropa yang melintas dihadapanya. Sehingga niatannya yang awalnya untuk membalaskan kematian adiknya kian berubah menjadi misi perjuangan Islam. Hal ini pun menjadi berita buruk bagi kaum Kristen Eropa kala itu. Kegemparan tersebut menjadikan nama Barbarossa kian terdengar seantero Eropa dan oleh Sultan Sulaiman Al-Qonuni, pemimpin Turki Ustmani yang kemudian mengangkat Barbarossa sebagai panglima Lautan untuk melindungi wilayah Turki Ustmani.        

Jika kita bertanya pada anak-anak jaman sekarang siapa sosok Barbarossa, mereka pasti sontak menjawab, dia adalah sosok bajak laut yang jahat. Hal yang justru sangat jauh berlawanan terhadap kenyataan yang ada dalam sejarah Islam. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh propaganda-propaganda yang dilakukan Eropa. Karena kebencian mereka terhadap Barbarossa, mereka melakukan propaganda melalui film-film untuk menjatuhkan, dan membuat buruk kaum-kaum muslimin, sehingga saat ini, makna Barbarossa sendiri telah terdistorsi dan lebih dipahami dalam persepsi yang negatif. 

Mengutip pesan bijak bapak proklamator kita yang dikenal dengan akronim “Jas Merah, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” sehingga implikasinya bahwa kita harus lebih memperhatikan dan mendalami sejarah khususnya sejarah Islam, karena boleh jadi stigmatisasi kaum Eropa terhadap tokoh-tokoh muslim yang tidak kita ketahui justru telah mengalir dalam pikiran kita dan pikiran generasi setelah kita. Oleh karenanya, pendalam pengetahuan terhadap sejarah perlu ditingkatkan agar kita tidak terbutakan oleh propaganda-propaganda yang dilakukan kaum yang membenci Islam.

“The more you know about the past, the better prepare you for the future”
Theodore Roosevelt 


Senin, 12 Juni 2017

ALIH KODE, CAMPUR KODE, HONORIFIK DAN SAPAAN

1.Alih kode
  Appel via Chaer (2010: 107) Alih kode merupakan salah satu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi percakapan. Secara lebih rinci alih kode merupakan peralihan penggunaaan bahasa yang digunakan oleh orang dimana orang itu menggunakan bahasa yang konvensional supaya terjadi komunikasi yang baik antara orang yang sedang berbicara tersebut. perubahan penggunaan bahasa tersebut akan terjadi dengan sendirinya supaya terjadi komunikasi yang baik.
Hymes via Chaer (2010: 107)Alih kode tidak hanya meliputi perubahan penggunaan bahasa saja, melinkan penggunaan ragam- ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Karena bahasa merupakan bahsan yang sangat luas, maka campur kode juga memliki cakupan perubahan yang sangat luas pula. Cakupan perubahan tersebut tidak hanya dari bahasa-bahasa tertentu yang digunakan oleh sutu Negara melainkan bahasa-bahasa daerah yang digunakana oleh masyarakant yang ada dalam sebuah Negara.
Sebab terjadinya alih kode seprti konsep dasar yang dikemukakan Fishman via Chaer (2010: 108) yaitu  siapa saja yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa untuk berbicara. Secara lebih terperinci penyebab alih kode  diantaranya sebagai berikut:
  a) Pembicara atau penutur
  b) Pendengar atau lawan tutur
  c) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
  d) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
  e) Perubahan topik pembicaraan
  Perubahan bahasa ini dilatarbelakangi oleh banyak  hal, diantaranya masyarakat pada umumnya memiliki lebih dari satu bahasa, dimana dalam keseharian mereka dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar menggunakan bahasa tertentu contoh jawa, dan untuk mengimbangi laawan bicara yang orang itu adalah orang sunda maka terjadilah perubahan bahasa diantara keduanya itu, yaitu menggunakan bahasa Indonesia, diakerenalka  bahasa Indonesia adalah bahsa nasional yang digunakan sebagai pemersatu bangsa.
Banyak faktor penyebab terjadinya alik kode, faktor ini terjadi karena beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat penutur atau ragam bahasa yang terdapat dlam masyarakat tersebut. Selain dari lima faktor penyebab terjainya alih kode, ada beberpa penyebab lagi yang menjadikan alih kode itu terjadi (Widjayakusumah via Chaer, 2010:112). 
  a) Kehadiran orang ketiga
  b) Perpindahan topic dari yang non teknis ke yang teknis
  c) Beralihnya suasana bicara
  d) Ingin dianggap “terpelajar”
  e) Ingin menjauhkan jarak
  f) Menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa daerah
  g) Mengutip pembicaraan orang lain
  h) Terpengaruh bahasa lawan yang beralih menggunakan  bahsas Indonesia
  i) Mitra berbicaranya lebih mudah
  j) Berada ditempat umum
  k) Menunjukan bahasa pertamanya bukan bahasa daerah
  l) Beralih media/ cara bicara
Sedangkan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah karena:
  a) Perginya orang ketiga
  b) Topiknya dari hal teknis ke hal non teknis
  c) Suasana berubah dari resmi ke tidak resmi
  d) Merasa ganjil tidak berbahasa daerah dengan orang sedaerahnya
  e) Ingin mendekatkan jarak
  f) Ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa daerah yang halus, dan berakrab-akraban dengan menggunakan bahasa daerah yang kasar
  g) Terpengaruh oleh lawan bicara yang menggunakan bahasa daerah
  h) Perginya generasi muda, mitra bicara yang lain lebih muda
  i) Merasa ditempat sendiri bukan ditempat umum
  j) Ingin menunukan bahasa pertamanya adalah bahasa daerah
  k) Beralih bicara biasa tanpa alat seperti telfon
Contoh Alih kode dalam percakapan di angkringan
Pedagang angkringan             : “Pak, kae tempene di entas mengko ndak gosong”
Suami pedagang angringan        : “Sedilit meneh, kui durung patio mateng. Kae si A digaweke           wedange sik”
Pedangang angkringan        : “Kamu tadi mau minum apa A, lupa aku”.
Orang Batak         : “Kopi item bu, gula sedikit saja.”
  Dari contoh diatas terjadi alih kode ketika pedagang angkringan berbicara dengan suaminya yang sama-sama orang Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa, ketika berbicara dengan orang Batak si pedagang angkringan langsung beralih menggunakan bahasa Indonesia untuk menanyakan pesanan yang dipesan.

2. Campur Kode
  Kesamaan alih kode dan campur kode memang memberikan kesukaran, karena memang memiliki kemiripan. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih. Yang perlu dipahami dalam membedakan alih kode dan campur kode yaitu, ketika berbicara masalah alih kode berati setiap bahasa tersebut memiliki fungsi masing-masing dan dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja berdasarkan sebab- ssebab tertentu. Sedangkan Campur kode bahasa yang digunakan hanyalah sebuah sisipan-sisipan bahasa yang paling sering digunakan, yang muncul dengan tidak sadar karena sudah sangat melekat sebagai alat komunikasi yang paling sering digunakan ( Chaer, 2010: 114).
Contoh Campur Kode dalam percakapan di warung angkringan dan di parkiran
Orang Batak : “Kemarin batu akikku saya jual laku 200”
Pedagang Angkringan : “Akikmu yang Bachan itu po”
Orang Batak : “Iya”
Pedagang angkringan : “Lha kamu tidak dapat bathi no.”
Orang Batak :“Ya, tidak apa, saya sedang butuh uang”

Berdasarkan contoh (1) ada percampuran penggunaan bahasa jawa ketika berkomunikasi dengan orang batak  terdapat kata Bathi no, po, kata tersebut adalah kata dalam bahasa jawa, dan komunikasi tersebut berlangsung dengan menggunakan bahasa Indonesia, karena yang diajak komunikasi adalah orang Batak.
Orang Jambi : “Bu, saya sudah”
Pedagang Angkringan : “Apa saja?”
Orang Jambi : “Nasi kalih, tempe tiga, sama es teh Satu”
Pedagang Angkringan : “Dadine enam ribu”

Contoh kedua percampuran penggunaan bahasa jawa juga terjadi ketika orang Jambi sedang berbicara dengan pedagang angkringan karena telah selesai makan. Percampuran bahasa jawa tersebut terdapat dalam kata kalih, dan dadine. Percampuran bahasa tersebut dilakukan oleh anak Jambi yang sudah lama tinggal di Yogyakarta dan pedagang angkringan.
Pedagang angkringan : “Mas unju’ane apa mas?”
Orang Jambi : “Saya es teh bu”

Contoh ketiga, ketika pedagang angkringan menawarkan minuman kepada orang Jambi ada percampurang bahasa yang terdapat dalam  kata unju’ane. Anak jambi yang kemudian menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Tukang parkir : “Niki ke utara atau ke selatan mas?”
Pengendara motor : “Ke utara pak, ini pak.”
Tukang parkir : “Sebentar ya kembalianya.”

Contoh keempat, terjadi kontak antara tukang parkir dan pengendara motor. Karena kondisi ini terjadi di kota Yogyakarta yang notabene banyak orang pendatang, maka si tukang parkir secara otomatis akan menanyakan dengan menggunakan bahasa indonesia kepada pengendara sepeda motor, walaupun didalam ujaranya masih tersisipi bahasa jawa yaitu, Niki. Berbeda lagi jika ini terjadi di kota pinggiran.
Jufri : “Mau tongkrong dimana?”
Jono : “Ya dimana saja yang penting tempatnya cozy”
Jufri : “Ok beroow”
Contoh kelima, dalam percakapan diatas terdapat campur kode cozy dan ok beroow, kata dalam bahasa inggris tersebut menyisip di dalam percakapan diatas. Penggunaan bahasa inggris dikalangan remaja untuk penggunaan istilah tertentu yang lazim digunakan dalam pergaulan remaja di masa kini.

3. Honorifik
  Istilah honorifik bisa diartikan sebagai ungkapan penghormatan. Shibatani (via Meshtrie, 2001: 552) menjelaskan bahwa honrifik merujuk pada bentuk linguistik yang digunakan sebagai tanda rasa hormat pada seseorang. Selain ituKridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorifik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan atau , yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Dari kedua penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa honorifik merupakan sebuah bentuk lingual yang digunakan sebagai tanda untuk menghormati lawan bicara. Bentuk lingual yang dimaksud di sini bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks (Brown dan Attardo, 2005: 77) seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi.
Contoh:
 a) Honorifik dalam bahasa Inggris
 Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut.
  1)Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
  2)Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama.

 b) Honorifik dalam bahasa Jawa
  1)Kowe arep lunga menyang ngendhi? 
  2)Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi?  
  3)Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi? 
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut  unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara. 

 c) Honorifik dalam bahasa Bugis
  1)Pole tegako?
  2)Pole Tegaki’?
Kedua kalimat di atas memiliki maksud yang sama yang menanyakan ‘kamu darimana’ namun untuk tingkat kesopanan, kalimat (b) memiliki tingkat kesopanan yang lebih baik.

 d) Honorifik dalam bahasa Indonesia
  1)Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
  2)Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
  3)Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
  1)Dia pergi lima menit yang lalu.
  2)Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
  1)Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
  2)Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
  3)Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
  4)Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.

4. Sapaan
  Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orangyang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.
Contoh:
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu: 
a. kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; 
b. nama diri, sepertiRidan dan Umi; 
c. istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; 
d. gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru; 
e. bentuk pe+kata kerjaatau kata pelaku,sepertipenonton dan pendengar; 
f. bentuk nominal+ ku seperti kekasihku dan Tuhanku;
g. kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; 
h. kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; 
i. ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.


Daftar Pustaka

Brown, Steven dan Attardo, Salvatore. 2005. Understanding Language Structure, Interaction, and Variation. Michigan: The University of Michigan Press
Chaer, Abdul dan Leonie, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: PerkenalanAwal. Jakarta. PT. RinekaCipta
Coulmas, Florian. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. California. Blackwell Publishing
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Kridalaksana,Harimurti . 2008. Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
Mesthrie, Rajend. 2001. Concise Encyclopedia of Sociolinguistic. Oxford: Elsevier Science Ltd.
Wardhaugh, Ronald dan Fuller, Janet M. 2015.An Introcuction to Sociolinguistis. UK. Wiley Black well
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.









SEDEKAH, THE EASY PATH TO JANNAH

"If you put the one in easy path, so Allah would put you through in easy life." 
Sebagai manusia, kita memang terkadang dibutakan oleh dunia. Kadang kita temukan orang berkecukupan namun jarang bersedekah. Sebaliknya, kita lebih banyak menemukan orang yang bisa dibilang untuk makan saja susah, namun kerap kali mereka menyisihkan rezeki mereka untuk bersedekah. Pola fikir memang menjadi satu-satunya permasalahan bagi sebagian orang saat ini. kalau soal mode, makan dan fashion, tak tanggung-tanggung, mereka mampu meroogoh kocek lebih dalam untuk memperoleh kepuasaan yang hanya bersifat sementara. Seketika mereka dihadapkan pada sedekah yang sudah jelas menjadi amal jariyah, mereka malah berfikir dan menimbang-nimbang berapa yang harus disedekahkan. Mungkin kita kurang memahami konsep sedekah itu seperti apa sehingga kita sebagai manusia hanya tahu bersedekah itu hanya dengan uang padahal senyum pun, hal yang paling mudah dilakukan, mampu menjadi tanda sedekah bagi kita sesama umat manusia.

Memang pola fikir kita terhadap sedekah harus diubah. Memikirkan sedekah hanya akan menghabiskan uang kita adalah hal yang sia-sia. Malah sebaliknya, sedekah justru memperkaya diri kita, menjadi tabungan hari akhir yang akan kita tuai di akhirat kelak, jika memang di dunia kita bersedekah dengan ikhlas hanya karena Allah. Rasulullah saw. Telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa ada beberapa hal yang menjadikan perlakuan kita di dunia ini yang takkan pernah terputus amalnya yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya. (HR. Muslim). Saya yakin, kita semua merasakan bagaimana rasanya memiliki tabungan di waktu kecil. Masih terngiang di kepala kita ketika memiliki tabungan/celengan berbentuk ayam yang terbuat dari  tanah liat. Sedikit demi sedikit uang logam maupun kertas terisi di dalamnya. Dan ketika penuh, kita pun memecahkan celengan tersebut dan menuai hasilnya. Alangkah nikmat rasanya ketika uang yang dahulunya hanya selembar menjadi ribuan lembaran yang ada. Begitulah rasanya kelak ketika kita menuai amalan-amalan kebaikan kita terkhususnya sedekah kita di dunia.

Namun yang menjadi permasalahan sekarang ini, terkadang kita sebagai mahluk yang dititipkan sifat iri dan sombong ini terkadang masih memikirkan jumlah yang perlu disedekahkan, padahal bukan itu yang menjadi penilaian Allah. lebih dari itu, Allah menilai niat seseorang dalam menyedekahkan hartanya. Pernah saya mendengar ketika seorang ustad berceramah di salah satu stasiun radio di kota saya. Kala itu beliau membicarakan salah seorang yang bersedekah di masjid yang hanya menyedekahkan lima ratus perak. Kemudian beliau mengatakan “bagaimana mungkin engkau masuk surga hanya dengan lima ratus perak, emang surga itu milik nenek moyang kamu?” dari pernyataan beliau tersebut timbul beberapa pertanyaan dalam benak saya, apakah kita bersedekah lima ratus perak itu dilarang? Ataukah ada batasan nilai tertentu untuk bersedekah? Dan yang paling penting, apakah kita bersedekah karena ingin masuk surga?

Sekali lagi, niat memang menjadi hal utama dalam perilaku dan perbuatan kita di dunia. Meskipun kita melakukan suatu kebaikan namun niat kita yang salah maka apa yang kita tuai nantinya tidak akan sesuai seperti yang kita harapkan. Terkait sedekah lima ratus perak, dalam pandangan saya, itu sah-sah saja karena yang menjadi ukurannya adalah niatan kita. meskipun kita bersedekah sekian juta hanya untuk pamer maka hasilnya sia-sia saja. namun, jika kita memiliki uang lebih dari itu, mengapa tidak kita sedekahkan. But who knows, Allah yang melihat dan menilai apa yang kita lakukan di dunia ini, apakah kita melakukan sesuatu karenaNya ataukah karena ingin menuai pujian orang lain. Wallahu a’lam bishawab. Dialah yang memutuskan dimana dan akan kemana kita kan menuju. 

Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang selalu diringankan dalam bersedekah, berapapun nilainya, sungguh sesuatu yang kecil jika dilakukan terus menerus dan dengan niat yang tulus maka insya Allah, Allah akan memberikan ganjaran yang lebih baik di akhirat nanti.


Minggu, 11 Juni 2017

OTAK, BAHASA DAN PIKIRAN

Outline Kajian
1.Otak, Bahasa, dan Pikiran
  a.Otak
   1)Definisi Otak
   2)Bagian-Bagian Otak dan Fungsinya
  b.Bahasa
  c.Pikiran
2.Teori Para Ahli
  a.Teori Broca
  b.Teori Wernicke
3.Hubungan Otak, Bahasa, dan Pikiran
  a.Hubungan Bahasa dan Otak
   1)Pemrosesan Bahasa Lisan
   2)Pemrosesan Bahasa Tertulis
  b.Hubungan Bahasa dan Pikiran
4.Kerusakan Otak
  a.Definisi Kerusakan Otak
  b.Afasia
   1)Definisi afasia
   2)Klasifikasi afasia


KAJIAN

1.Otak, Bahasa, dan Pikiran
 a.Otak
  1)Definisi Otak
  Otak merupakan organ dalam yang memegang peranan penting untuk mengorganisasikan sebagian besar fungsi organ tubuh manusia. Organ dalam yang memiliki peran vital dalam kelangsungan hidup manusia tersebut dapat direpresentasikan sebagai koordinator utama yang memiliki tugas untuk mengatur setiap kinerja bawahannya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Cheng (2013: 128) menyatakan, “The Brain is the most complex vertebrate organ ever to evolve, and it can perform a bewildering variety of complex functions.” Dapat diartikan, otak merupakan organ paling kompleks dari vertebrata yang senantiasa berevolusi dan dapat menjalankan fungsi-fungsi yang kompleks. Senada dengan Cheng, Seeley dkk. (2008: 443) menyatakan, “The brain is that part of the CNS contained within the cranial cavity. It is the control center for many of the body’s functions. The brain is much like a complex central computer with additional functions that no computer can as yet match.” 
  Berdasarkan pernyataan Seeley tersebut, diketahui bahwa otak adalah bagian dari CNS yang dikandung di dalam cranial cavity. Otak adalah pusat kontrol bagi sejumlah fungsi-fungsi tubuh. Otak mirip dengan sebuah komputer yang kompleks dengan fungsi-fungsi tambahannya. Seeley mencoba untuk merepresentasikan otak manusia dengan sebuah komputer dilihat dari kompleksitas kerja otak dan komputer yang sama. Sementara itu, Campbell dkk. (2004: 620) berpendapat bahwa otak disusun dari sekitar seratus milyar neuron, jauh lebih kompleks daripada sebuah komputer. Ia menerima, menyortir atau memilah-milah, dan menyampaikan sejumlah besar informasi. Johnson dkk. (1984: 469) juga memaparkan tentang kompleksitas kerja otak bahwa organ-organ indera yang bertanggungjawab terhadap kemampuan penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasa pada manusia, diletakan di dalam kepala, kemudian semua informasi yang diperoleh dari indera-indera tersebut diproses oleh sistem syaraf vertebrata melalui sebuah otak tunggal.
  Dari berbagai pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa otak merupakan salah satu organ vertebrata, dalam hal ini yang ditekankan adalah human brain atau otak manusia, yang dapat dikatakan sebagai organ paling kompleks  dalam mengatur lalu lintas informasi dalam tubuh manusia. Otak dapat dikatakan organ paling vital, sebab memegang tugas sebagai pusat kontrol bagi tubuh manusia. Tugas kontrol yang dimaksud tersebut menyangkut peneriman, pemilahan, dan penyampaian sejumlah informasi, sehingga secara sederhana dapat dipahami. Setiap informasi yang ditangkap oleh panca indera manusia akan segera dikirimkan kepada otak, kemudian informasi yang ditangkap tersebut akan diproses di dalam bagian-bagian otak tertentu, dan pada akhirnya hasil dari pengolahan informasi tersebut akan disampaikan kembali oleh otak kepada organ tubuh lain yang membutuhkan. 
  
2)Bagian-bagian Otak dan Fungsinya
  Setiap organ tubuh manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu yang memiliki fungsi berbeda-beda. Secara umum otak terbagi dalam tiga bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, dan batang otak. Bagian-bagian otak beserta fungsinya masing-masing akan dibahas sebagai berikut.
   a)Cerebrum (Otak Besar)
   Cerebrum adalah bagian terbesar dan terkompleks dari otak. Ia terbagi menjadi dua bagian yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Hemisfer kiri mengontrol pergerakan tubuh bagian kanan. Pada kebanyakan orang, spesialisasi hemisfer kiri lebih banyak memusatkan pada pikiran logis, pemecahan masalah, dan bahasa. Sementara itu, hemisfer kanan lebih bertanggungjawab bagi kreativitas dan imajinasi. Peryataan tesebut sesuai pendapat berikut ini.
   “The cerebrum is the largest and most complex part of the brain. It is divided into two halves called hemispheres. The left hemisphere controls movement of the right side of your body. In the most people the left hemisphere specializes in logical thinking, problem solving, and language, while the right hemisphere is more responsible for creative thoughts and imagination” (Campbell dkk., 2004: 620). 
   Menurut Nolte (2009: 72), di dalam cerebrum terdapat serebral korteks yang terdiri dari lobus frontal, lobus pariental, lobus occipital, lobus temporal, dan lobus limbic. Lobus frontal berfungsi sebagai motor korteks, sedangkan lobus pariental berfungsi sebagai sematosensorik korteks. Sementara itu, lobus occipital berfungsi sebagai korteks visual, lobus temporal berfungsi sebagai korteks auditori, sedangkan lobus limbic berfungsi mengendalikan emosi dan memori. 
   b)Cerebellum (Otak Kecil)
   Cerebellum terletak di bawah cerebrum dekat puncak spinal cord. Cerebellum merupakan pusat koordinasi pergerakan tubuh. Cerebellum menerima sinyal-sinyal dari cerebrum yang mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk berpindah. Cerebellum juga menerima informasi dari reseptor-reseptor sensorik mengenai posisi dari bagian-bagian tubuh yang berbeda. Cerebellum mengevaluasi informasi ini dan dalam beberapa mili detik ia mengirim sebuah rencana untuk kemudian dikoordinasikan pergerakan kembali pada cerebrum. Hal tersebut sesuai dengan peryataan berikut ini.
   “Located below the cerebrum near the top of the spinal cord, the cerebellum is the coordination center for the body movements. The cerebellum receives signals from the cerebrum indicating a need to move. The cerebellum also receives information from sensory receptors regarding the positions of different body parts. The cerebellum evaluates this information and within a few milliseconds, send a plan for coordinated movements back to the cerebrum” (Campbell dkk., 2004: 621). 
   Selain itu, terdapat pendapat lain yang mendukung pernyataan Campbell. Seeley dkk. (2008: 444) menyatakan bahwa cerebellum mengontrol pergerakan otot dan nada, menyeimbangkan pengaturan pergerakan yang disengaja, mengatur tentang hal-hal yang terlibat dalam pembelajaran keterampilan motorik. Inti dari kedua pernyataan tersebut adalah bahwa bagian otak yang disebut cerebellum berfungsi untuk mengatur pergerakan atau pun perpindahan tubuh manusia. Misalnya, pada saat seseorang hendak menaiki eskalator, cerebellum inilah yang mengkoordinasikan tubuh agar dapat menaiki eskalator tersebut dengan benar dan tidak terjatuh.
   c)Brainstem (Batang Otak)
   Bagian yang terletak lebih rendah pada otak anda disebut brainstem, yang di dalamnya terdapat beberapa struktur, yaitu medulla oblongata, pons, dan otak tengah. Batang otak menyaring semua informasi dari neuron-neuron sensorik dan motor neuron yang menuju dan datang dari otak. Batang otak juga mengatur tidur, mengontrol pernapasan dan membantu mengkoordinasikan pergerakan badan seperti dilansir pada tulisan berikut ini.
   “The lower section of your brain, called the brainstem, includes several structures: the medulla oblongata, the pons, and the midbrain. The brainstem filters all the information from the sensory and motor neurons going to and from the brain. The brainstem also regulates sleep, controls breathing, and helps coordinate body movements” (Campbell dkk., 2004: 621).

b.Bahasa
  Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena sebetulnya bahasa merupakan salah satu budaya masyarakat yang lahir dan berkembang bersama pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Sebagian orang mengartikan bahasa sebagai alat komunikasi, mengingat bahasa merupakan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari satu orang ke orang lainnya dengan tujuan untuk berkomunikasi. Akan tetapi, titik berat pembahasan sub bab bahasa dalam makalah ini adalah bagaimana bahasa dilihat dari perspektif linguistik. Dalam prespektif linguistik, Pelz (2002: 18-20) mendefinisikan bahasa dalam dua pengertian. Pertama, “Relation zwischen Wörtern und Dingen” yang berarti relasi atau hubungan antara kata-kata dengan benda-benda. Kedua, “Zusammenhang zwischen Sprechen und Handeln in der Gesellschaft“ yang berarti keterkaitan antara pembicaraan dengan tindakan-tindakan pada masyarakat. Dalam kutipan tersebut, Pelz bukan hanya menjelaskan bahwa bahasa terdiri dari kumpulan kata-kata, baik kata kerja, kata benda, maupun kata keterangan. Lebih jauh, ia menekankan adanya hubungan atau relasi antarkomponen penyusun bahasa tersebut, sehingga kumpulan kata tersebut dapat membentuk makna. Dengan begitu, bahasa memungkinkan munculnya respon dari lawan bicara yang dapat berupa “Handeln” atau tindakan.
  Seperti telah dikatakan oleh Pelz, bahasa berkaitan dengan pembicaraan yang terjadi di masyarakat atau dikenal dengan istilah komunikasi, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai sarana komunikasi. Hal tersebut didukung oleh pendapat Banker dan Hengeveld (2012: 5) yang menyatakan bahwa bahasa digunakan sebagai sarana komunikasi umum. Melalui bahasa yang alami, manusia pada dasarnya dapat berkomunikasi satu sama lainnya mengenai apa saja di dunianya, mulai dari pembicaraan mengenai cuaca sampai menulis atau membaca sebuah artikel ilmiah mengenai pemanasan global. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah kumpulan kata yang membentuk kalimat-kalimat bermakna dan digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi.

c. Pikiran
 Aktifitas berfikir merupakan aktifitas yang dilakukan manusia setiap waktu. Aktifitas berfikir tersebut akan menghasilkan pikiran. Menurut Bedell dan Lennox (1997: 43-44), pikiran merupakan sebuah pesan dari otak yang mengekspresikan sebuah keinginan, harapan, komparasi atau perbandingan, dan juga evaluasi atau deskripsi. Dalam kutipan tersebut, Bedell dan Lennox juga mencontohkan sebagai berikut.
   1)Keinginan
      Saya ingin membuat sebuah presentasi yang jelas pada pertemuan besok. 
   2)Harapan
   Apabila saya melakukan pekerjaan yang baik, orang-orang akan menghargai  saya. 
   3)Komparasi
   Saya lebih senang bersama Bill daripada Pete.
   4)Evaluasi
   Saya tidak menyukai pesta ini. 

  Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pikiran adalah suatu bentuk pengekspresian pesan yang dilakukan oleh otak. Bentuk ekspresi tersebut dapat meliputi keinginan, harapan, perbandingan, dan evaluasi terhadap sesuatu hal. Oleh karena itu, banyak orang mengatakan keempat aspek tersebut sebagai buah pemikiran.

2.Teori Para Ahli 


Gambar 1. Area Broca dan Area Wernicke

Terdapat dua orang ahli yang memiliki peran penting dalam menemukan hubungan antara bahasa dan otak. Kedua ahli yang dimaksud tersebut adalah Broca dan Wernicke, sehingga nama mereka diabadikan menjadi nama salah satu bagian otak manusia seperti yang dapat dilihat dalam gambar 1. Berikut ini pembahasan secara lebih mendalam mengenai penemuan yang dilakukan oleh Broca dan Wernicke tersebut. 
  


a.Teori Broca
   Tidak banyak orang yang mengenal siapa itu Broca atau mengapa namanya digunakan untuk menyebut salah satu bagian dalam otak manusia. Berikut ini kutipan yang mengulas mengenai Broca. Pierre Paul Broca mengungkap Broca sebagai "the speech area is adjacent to the region of the “motor” cortex which tongue, lips, jaw, soft palate, vocal cords, ect. He posited that speech is formulated in Broca’s Area and then articulated via the motor area." (Steinberg dkk., 2001: 321). 
  Berdasarkan kutipan tersebut, diketahui bahwa Pierre Paul Broca adalah seorang ahli patologi dan ahli saraf (1824-1880) yang pertama kali membuat penemuan hebat mengenai otak dan bahasa. Ia menemukan sebuah area spesifik dari korteks yang terlibat dengan produksi bicara, kemudian area tersebut diberi nama area Broca. Broca mencatat bahwa area berbicara berdampingan dengan wilayah “motor” korteks yang meliputi lidah, bibir, rahang, langit-langit mulut yang lembut, vocal cord, dan lain-lain. Ia mengemukakan bahwa berbicara diformulasikan di dalam area Broca dan kemudian diartikulasikan melalui area motor. 
  b.Teori Wernicke
   Selain Broca, terdapat tokoh lain yang berjasa dalam penemuan hubungan antara otak dan bahasa, yaitu Wernicke. Ia merupakan ahli neurologi (1848-1905). Ulasan mengenai Wernicke dapat dilihat sebagai berikut. 
  In his research he discovered, near the part of the cortex in the temporal lobe which receives “auditory” stimuli, an area which was involved in the understanding of speech. Wernicke hypothesized that this area, later named Wernicke’s area, must in some way be connected, by fibres of the arcuate fasciculus. The model that Wernicke posited over a century ago is still largely the model which most researchers use today in describing how we understand speech. According to Wernicke, on hearing a word, the sound of a word goes from the ear to the auditory area and then to Wernicke’s area (Steinberg dkk., 2001: 321).
  Berdasarkan kutipan tersebut, penelitian Wernicke menunjukkan bahwa di dekat bagian korteks pada lobus temporal yang menerima stimulasi “pendengaran”, terdapat sebuah area yang menyangkut pemahaman berbicara. Wernicke menarik hipotesis bahwa area inilah yang kemudian dinamakan dengan istilah area Wernicke. Area ini dihubungkan dengan bagian lain oleh serat-serat arcuate fasciculus. Model yang dikemukakan oleh Wernicke satu abad lalu tersebut tetap menjadi model yang digunakan hingga sekarang dalam menggambarkan bagaimana manusia memahami pembicaraan. Menurut Wernicke, dalam mendengarkan sebuah kata, bunyi dari sebuah kata pergi dari telinga menuju area pendengaran dan kemudian menuju area Wernicke. 

3.Hubungan Otak, Bahasa, dan Pikiran
 a.Hubungan Bahasa dan Otak
  1)Pemrosesan Bahasa Lisan 
   Untuk dapat berinteraksi antarsesama manusia, otak manusia harus dapat memproses bahasa.  Dengan pemrosesan tersebut, manusia dapat memahami maksud lawan bicara dan dapat memberi respon kepada lawan bicara. Pemrosesan bahasa tersebut terjadi di hemisfer kiri. Akan tetapi, bukan berarti hemisfer kanan tidak bekerja sama sekali selama pemrosesan bahasa berlangsung. Garman (1990: 82) menyatakan, 
“Generally, it seems that both left and right hemispheres contribute to certain sensory (feedback) and motor (initiation and control) aspects of speech, but dominance is again a left-hemispheric characteristic.”
Berdasarkan pernyataan Garman tersebut, diketahui bahwa baik hemisfer kiri maupun hemisfer kanan memiliki kontribusi dalam berbicara, tetapi hemisfer kiri lebih dominan. 
  Proses pengolahan bahasa lisan menurut Steinberg (2001: 323) terdiri dari speech comprehension dan speech production. Mengenai speech comprehension, Field (2003: 20) menyatakan, 
“The listener, for example, might need to build acoustic features into phonemes, phonemes into syllables, syllables into words, words into syntactic patterns, syntactic patterns into propositional (abstract) meaning.” 
Berdasarkan penjelasan tersebut, kronologi pemrosesan bahasa hingga pesan dapat dimengerti oleh pendengar diawali dari bunyi menjadi kumpulan fonem, dari kumpulan fonem menjadi kumpulan suku kata, dari kumpulan suku kata menjadi kumpulan kata, dari kumpulan kata menjadi pola sintaksis, dan akhirnya menjadi pesan abstrak yang dapat dipahami maknanya. 
  Kaitannya dengan otak, proses pengolahan bahasa dimulai dari bunyi yang ditangkap oleh indera pendengaran, kemudian sampai pada korteks auditori dan diteruskan ke area Wernicke. Di dalam area tersebut pesan yang berupa bunyi tersebut diiterpretasikan menjadi sebuah pemahaman. Hal tersebut sesuai pendapat berikut. Steinberg dkk. (2001: 323) menyatakan, “The signal arrive in auditory cortex from the ear, and are transferred to the adjacent Wernicke’s area, where they are interpreted.” Sementara itu, dalam speech production membutuhkan satu langkah lagi. Steinberg menambahkan, pada speech production, setelah diproses di area Wernicke, kemudian pesan dikirim ke area Broca untuk pengkodean. Hasil pengkodean tersebut diteruskan pada motor area yang mengatur artikulasi.
  Berdasarkan penjelasan mengenai pemrosesan bahasa lisan di dalam otak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemrosesan bahasa lisan diawali dari bunyi yang ditangkap oleh indera pendengaran. Selanjutnya, bunyi tersebut sampai pada korteks auditori dan diteruskan ke area Wernicke. Di dalam area tersebut terjadi penginterpretasian pesan, sehingga pesan dapat dipahami. Apabila pesan membutuhkan respon maka pesan diteruskan ke area Broca agar area Broca memberi perintah pada motor artikulasi untuk mengeluarkan bunyi sebagai tanggapan terhadap pesan yang masuk.
  2)Pemrosesan Bahasa Tertulis 
   Alur pemrosesan bahasa tertulis pada dasarnya hampir sama dengan alur pemrosesan bahasa lisan. Akan tetapi, tetap terdapat perbedaan antara keduanya. Pemrosesan bahasa lisan berhubungan dengan fonologi, sedangkan pemrosesan bahasa tertulis berhubungan dengan ortografi. Hal tersebut sesuai pendapat berikut. Field (2003: 12) menyatakan, “If we are dealing with speech, we need a phonological model of the word; if we are dealing with reading, we will need an orthographic one.” 
  Alur pemrosesan bahasa tertulis menurut Steinberg dkk. (2001: 321-323) dimulai dari tulisan yang diterima oleh indera penglihatan. Selanjutnya, pesan yang berupa tulisan tersebut dikirimkan ke korteks visual pada lobus occipital, kemudian ditransmisi kepada area Wernicke melalui gyrus angular. Setelah itu, pesan dikirim ke area Broca seperti pada pemrosesan bahasa lisan. Akan tetapi, pemrosesan bahasa tertulis perlu melibatkan kerja otot tangan serta jari-jari tangan dalam menghasikan tulisan. Pergerakan dari lengan tangan dan jari-jari tangan ketika menulis tersebut merupakan gerakan yang diatur oleh daerah Broca. Daerah Broca mengirim sinyal agar tangan dan jari-jari tangan berkoordinasi membentuk tulisan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat berikut. Garman (1990: 89)  menyatakan, “Broca’s area may be involved in the sequencing of hand movements much as it is in the sequencing of hand movements much as it is in the sequencing of the articulatory gestures of spoken language”. Secara lebih terperinci, pengkoordinasian jari-jari dan lengan tangan dijelaskan dalam kutipan berikut ini.

  ”In writing function, the hand and arm form a partly closed system, with fingers and thumb in reciprocal agonist-antagonist relationship (though with simultaneous and coordinated arm sweeps across the page); by contrast, in typing, they function more as an open system, with two hands, and fingers and thumbs acting in overlapping simultaneous and coordinated movements” (Garman, 1990: 100).

  Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemrosesan bahasa tertulis dimulai dari penerimaan pesan yang dalam hal ini berupa tulisan. Setelah pesan diterima oleh indera penglihatan, kemudian pesan dikirimkan ke korteks visual pada lobus occipital.  Melalui gyrus angular, pesan tersebut ditransmisi kepada area Wernicke. Setelah itu, pesan dikirim ke area Broca agar area Broca memerintahkan otot dan jari-jari tangan untuk berkoordinasi membentuk tulisan.

 b. Hubungan Bahasa dan Pikiran
 Bahasa erat kaitannya dengan pikiran. Menurut Steinberg dan Sciarini (2006: 179), terdapat empat teori yang mendasari hubungan antara keduanya, yakni sebagai berikut. 
  1)Pembicaraan merupakan esensi bagi pikiran. 
    Manusia harus belajar bagaimana dapat berbicara dengan nyaring untuk dapat mengembangkan pikirannya. 
  2)Bahasa merupakan esensi bagi pikiran. 
    Manusia harus mempelajari bahasa, bagaimana memproduksi atau memahami pembicaraan, untuk dapat mengembangkan pikiran. 
  3)Bahasa menentukan atau membentuk persepsi manusia atas alam. 
    Pembelajaran bahasa akan menentukan atau memberi dampak pada cara manusia mempersepsikan fisik dunia secara visual, audial, dan lain sebagainya. 
  4)Bahasa menegaskan atau membentuk pandangan dunia. 
    Pembelajaran bahasa akan menegaskan atau memberi dampak pada cara manusia memahami budaya dan juga dunianya.
 Kaitan antara bahasa dan pikiran itu sendiri dikategorikan oleh Pelz (2002: 37) menjadi tiga paham atau aliran yaitu, “Sprache bestimmt das Denken - steht die Hypothese gegenüber, daβ Denken und Sprechen zwei sich eigenständig entwickelnde, wenn auch natürlich interagierende menschliche Fähigkeiten sind”. Dalam tulisan Pelz tersebut, dikatakan bahwa paham pertama meyakini bahasa menentukan pikiran, sedangkan paham kedua meyakini bahwa pikiran menentukan bahasa. Sementara itu, paham ketiga meyakini bahwa keduanya saling menentukan atau mempengaruhi. 
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai hubungan bahasa dan pikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki hubungan yang erat dengan pikiran. Terdapat tiga paham terkait hubungan bahasa dan pikiran, yaitu bahasa menentukan pikiran, pikiran menentukan bahasa, dan baik bahasa maupun pikiran saling mempengaruhi. Walaupun terdapat tiga paham, pada prinsipnya manusia harus mempelajari bahasa agar dapat mengembangkan pikirannya. 

4.Kerusakan Otak
 a.Definisi Kerusakan Otak
  Otak merupakan organ yang vital, sebab otak mengendalikan seluruh aktifitas manusia. Oleh karena itu, otak diproteksi ketat agar tidak mengalami kerusakan. Akan tetapi, kerusakan pada otak bisa saja terjadi apabila kepala mengalami benturan yang keras. Berikut dijelaskan mengenai kerusakan otak.
 “The brain is well protected by the skull and the fluid jacket, the cerebrospinal fluid that completely surrounds the brain. But repeated blows to the head such as those to which professional boxers are subjected may lead to permanent damage to the cerebral hemispheres. If the damage is severe, the person is described as “punch drunk”, a condition characterized by an unsteady gait, slow, halting speech, and slow muscular movements” (Flower, 1984:320).
 Berdasarkan kutipan tersebut, diketahui bahwa otak diproteksi dengan baik oleh tengkorak dan cairan pelindung, yakni cairan cerebrospinal yang melingkupi otak. Akan tetapi, benturan yang berulang kali pada kepala, misalnya yang dialami pada petinju profesional, dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada hemisfer cerebral. Jika kerusakan mencapai titik ekstrim maka orang yang mengalami hal yang disebut sebagai “punch drunk”, sebuah kondisi yang dicirikan oleh gaya berjalan yang bergoncang, lambat, pembicaraan yang terhenti-henti, dan pergerakan otot yang lamban. Kerusakan otak yang mengakibatkan pembicaraan terhenti-henti tersebut akan dibahas pada sub bab berikut ini.
 b.Afasia
  1) Definisi Afasia
  Afasia adalah hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Afasia ditandai dengan sulitnya seseorang dalam berbicara akibat kerusakan salah satu bagian otak. Field (2003: 53) menyatakan, “Damage to either will often (but not always) lead to a condition known as aphasia, in which patients lose some of their powers of speech.” Senada dengan Field, Nolte ( 2009: 559) juga menyatakan, “Inabillity to use language (i.e., loss of or acces to the set of symbols that humans use to represent concepts) is called Aphasia. Baik Field maupun Nolte sependapat bahwa afasia adalah hilangnya kemampuan seseorang dalam berbahasa, khususnya berbicara, sebagai akibat dari kerusakan otak.
  Kerusakan otak yang menyebabkan afasia tersebut adalah kerusakan yang terjadi pada hemisfer kiri, sebab hemisfer kiri mendominasi dalam proses pengolahan bahasa. Glezerman dan Balkoski (2000: 3) menyatakan bahwa sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya gangguan bahasa yang mengiringi kerusakan pada area-area kortikal tertentu di hemisfer kiri, yakni frontal, temporal, dan parietal. Ketiga area ini dikenal dengan istilah “zona-zona bicara”. 
  Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa afasia adalah penurunan kemampuan berbicara yang dialami seseorang akibat luka atau cidera yang terjadi pada hemisfer kiri. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa terdapat tiga titik penting yang terletak di dalam hemisfer kiri, yakni frontal, temporal, dan parietal, yang jika terjadi kerusakan atau pun penurunan fungsi maka akan berdampak pada gangguan berbicara. Dengan kata lain,  kemampuan berbicara manusia sangat tergantung pada hemisfer kiri.
  2) Klasifikasi Afasia
  Secara umum, John Field (2003: 55) mengklasifikasikan afasia berdasarkan bagian otak yang mengalami kerusakan. Dengan cara pengkalasifikasian ini, Field menyatakan bahwa terdapat dua jenis afasia, yaitu afasia Broca dan afasia Wernicke. Afasia Broca terjadi apabila seseorang mengalami kerusakan otak pada area Broca, sedangkan afasia Wernicke terjadi apabila seseorang mengalami kerusakan otak pada area Wernicke. Berikut ini pernyataan mengenai afasia Broca.
   One particular condition, now called Broca’s aphasia, is characterized by meaningful but shortened speech and also occurs in writing. In the condition, grammatical inflections are often lacking, such as the third-person present tense ‘-s’ (‘Mary want candy’ for ‘Mary wants candy’) and the auxiliary ‘be’ (‘Joe coming’ for ‘Joe is coming’), as are articles, prepositions, and other so-called function words. In a way, the speech is similar to that of children at the telegraphic stage of speech production (Steinberg dkk., 2001: 332).
Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa afasia Broca ditandai dengan sedikitnya kalimat yang dapat dikatakan oleh pasien penderitanya. Selain itu, afasia jenis ini juga ditandai dengan terjadinya kesalahan dalam struktur kalimat. Sementara itu, ciri-ciri penderita afasia Wernicke dijelaskan seperti berikut ini.
This condition is characterized by speech which often resembles what is called nonsense speech or double-talk. It sounds right and is grammatical but it is meaningless. It can seem so normal that the listener thinks that he or she has somehow misheard what was said, as is often the case  in ordinary conversation (Steinberg dkk,. 2001: 333). 
Pernyataan Steinberg tersebut menjelaskan bahwa pasien penderita afasia jenis ini dapat berbicara dengan tata bahasa  yang baik. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang ia katakan sulit dipahami oleh pendengar. Hal tersebut sering dikenal dengan nonsense speech atau double talk. ”Untuk lebih mempermudah pemahaman terkait perbedaan afasia Broca dan Wernicke, Field (2003: 55) merumuskan perbedaan antara kedua afasia tersebut dalam tabel berikut ini.

  Klasifikasi Afasia Menurut John Field
Afasia Broca
• Berusaha keras untuk dapat berbicara
• Sering berhenti sementara (jeda) dalam berbicara
• Hampir tanpa sintaks
• Menggunakan kata benda konkret,
• Pemahaman sering baik
• Memungkinkan menggunakan isyarat

Afasia Wernicke
• Usaha kecil untuk dapat berbicara,
• Berbicara lancar
• Sintaks cenderung baik
• Banyak kata benda dan kata kerja yang umum misalnya do
• Pemahaman sering sangat terganggu.

Konklusi
  Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada pembahasan, dapat disimpulkan dalam lima poin besar sebagai berikut. Pertama, otak merupakan salah satu organ vertebrata yang kompleks dan bertugas mengatur lalu lintas informasi dalam tubuh manusia sehingga tiap organ tubuh dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Bagian otak yang mengatur, mengontrol, dan mengolah bahasa adalah hemisfer kiri.  
Kedua, bahasa adalah kumpulan kata yang membentuk kalimat-kalimat bermakna dan digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi. Sementara itu, pikiran adalah pesan dari otak yang mengekspresikan sebuah keinginan, harapan, komparasi atau perbandingan, dan juga evaluasi atau deskripsi.  
Ketiga, pemrosesan bahasa lisan diawali dari bunyi yang ditangkap oleh indera pendengaran. Bunyi tersebut kemudian sampai pada korteks auditori, lalu diteruskan ke area Wernicke. Di dalam area tersebut terjadi penginterpretasian pesan, sehingga pesan dapat dipahami. Apabila pesan membutuhkan respon maka pesan diteruskan ke area Broca agar area Broca memberi perintah pada motor artikulasi untuk mengeluarkan bunyi sebagai tanggapan terhadap pesan yang masuk. Sementara itu, pada pemrosesan bahasa tertulis dimulai dari penerimaan pesan oleh indera penglihatan yang dalam hal ini berupa tulisan. Setelah pesan diterima, kemudian pesan dikirimkan ke korteks visual pada lobus occipital.  Melalui gyrus angular, pesan ditransmisi kepada area Wernicke. Setelah itu, pesan tersebut dikirim ke area Broca agar area tersebut memerintahkan otot dan jari-jari tangan untuk berkoordinasi membentuk tulisan.
Keempat, hubungan antara bahasa dan otak ditemukan oleh dua ahli medis yakni Broca dan Wernicke melalui serangkaian penelitian pada pasien yang mengalami kesulitan dalam berbicara. Sementara itu, hubungan antara bahasa dan pikiran dikategorikan menjadi tiga paham atau aliran, yakni bahasa mempengaruhi pikiran, pikiran mempengaruhi bahasa, serta keduanya saling mempengaruhi. 
Kelima, apabila terjadi kerusakan otak pada hemisfer kiri maka dapat menyebabkan afasia. Afasia adalah hilangnya kemampuan dalam berbahasa yang ditandai dengan sulitnya seseorang dalam berbicara. Terdapat dua jenis afasia yaitu afasia Broca  dan afasia Wernicke. Afasia Broca terjadi apabila seseorang mengalami kerusakan otak di daerah Broca, sedangkan afasia Wernicke terjadi apabila seseorang mengalami kerusakan otak di daerah Wernicke.


DAFTAR PUSTAKA

Banker, Hengeveld. 2012. Linguistics. West Sussex. Blackwell Publishing Ltd.

Bedell, Jefferey R. dan Lennox, Shelley S.1997. Handbook for Communication and Problem Solving Skills Training. New York: John Wiley & Sons.

Campbell, dkk. 2004. Biology Exploring Life. New Jersey. Pearson Education, Inc. 

Cheng, Ken. 2013. Introduction to Brain, Behaviour and Evolution. North Ryde. McGraw-Hill Australia Pty Ltd. 

Field, John. 2003. Psycolinguistics – A Resource Book for Students. New York. Routledge. 

Fowler, Ira. 1984. Human Anatomy. California. Wadsworth, Inc. 

Garman, Michael. 1990.  Psycolinguistics. United Kingdom. Cambridge University Press.

Glezerman, Balkoski. 2002. Language, Thought, and the Brain. New York. Kluwer Academic Publishers. 

Johnson, dkk. 1984. Biology an Introduction. Menlo Park. The Benjamin/ mings Publishing Company, Inc. 

Nolte, John. 2009. The Human Brain: an Introduction to Its Functional Anatomy. Philadelphia. Mosby Elsevier. 

Pelz, Heidrun. 2002. Linguistik: eine Einführung. Hamburg. Hoffmann und Campe Verlag.  

Seeley, dkk. 2008. Anatomy & Physiology Eight Edition. New York. McGraw-Hill Companies, Inc.

Steinberg, Danny D.  dkk. 2001. Psycholinguistics: Language, Mind, and World second edition. Harlow. Pearson Education Limited. 

_______. dan Sciarini, Natalia V. An Introduction of Psicolinguistics. 2006. Great Britain. Pearson Longman.  

BEHAVIORISTIK VS NATIVISTIK

Outline Kajian
1.   Materialisme vs Mentalisme
a)  Materialisme
b)  Mentalisme
1)  Interaksionis
2)  Idealis
2.   Pendapat Kaum Behaviouris (Materialis)
a)  Pandangan penganut paham Materialisme
b)  Pandangan penganut paham Epiphenomenalisme
c)  Pandangan penganut paham Reductionisme
3.   Pendapat dari Kaum Nativis (Mentalis)
a)  Pandangan penganut paham Empirisme
b)  Pandangan pertama tentang intelegensi datang dari pengalaman
c)  Pandangan kedua tentang intelegensi sudah ada sejak dari lahir
d)  Pandangan penganut paham Rasionalisme
4.   Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a)  Sejarah
b)  Nativistik menurut Chomsky
c)  Pengertian Universal Grammar
d)  Peran Lingkungan
e)  Empat pokok dari Universal Grammar
1)  Kemudahan Pemerolehan Bahasa Anak dibanding Orang Dewasa
2)  Perkembangan Bahasa pada Anak
3)  Peran Kecerdasan dalam Proses Pemerolehan Bahasa pada Anak
4)  Multibahasa pada Anak

Kajian


1.   Materialisme vs Mentalisme
a.   Materialisme
Sebagai bapak Materialisme (Behaviorisme), John B. Watson mengungkapkan “there was only one stuff in the universe, the material or matter and the study of physiology is the study of psychology” (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200). Dengan kata lain bahwa studi psikologi adalah sama dengan studi fisiologi (tubuh).
Chalmers (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) sebagai seorang yang mengungkapkan tentang fungsionalis, menambahkan tentang adanya karakteristik mental, termasuk kesadaran, kepada benda-benda yang dia sebut ‘mati’ (inanimate). Behavioris lain seperti Skinner dan Osgood (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) mengakui akan adanya pikiran, namun memposisikan pikiran tersebut bahwa pikiran tidaklah mempunyai kekuatan apa-apa. Didukung oleh para pakar lainnya (Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) sebagaimana mereka mencontohkan dalam bukunya bahwa objek dari psikologis (ketika objek sedang bertindak.) bukanlah karena pikiran (mind). Meski ada perbedaan dari para anti-mentalism theorists, mereka sama-sama setuju untuk berpendapat bahwa mereka sama-sama berdebat tentang studi tentang fisik (tubuh, termasuk otak) di mana mereka dapat menghubungkan fungsi dan proses tubuh pada situasi dan peristiwa di lingkungan sekitar (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200).

b.   Mentalisme
Berlawanan dengan penganut materialisme, kaum mentalis berpendapat bahwa pikiran mempunyai sifat yang berbeda dari materi. Jika John B. Watson mengatakan hanya ada satu hal (materi) yang ada di semesta ini, maka para kaum mentalis membedakannya menjadi 2, yaitu materi (material) dan mental (mental). Doktrin tersebut sudah digunakan pada masa Yunani kuno sampai masa sekarang (era Chomsky, Searle, dan juga Steinberg). Sebagian besar para pakar psikolinguistik dan linguistik modern adalah kaum mentalis. Bagi mereka, sangatlah penting pemahaman dalam pikiran dan kesadaran terhadap pemahaman intelektual pada manusia, terutama bahasa. Mereka berpendapat bahwa mereka menempatkan penekanan (mempelajari) pikiran dan interaksi tubuh untuk memahami proses pembelajaran bahasa pada anak-anak. Dua hal dasar dari pikiran dan relasi tubuh sebagai stimulus dan respon (kebiasaan) menurut mereka adalah Interaksionis dan Idealis (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200).

Interaksionis adalah kaum yang beranggapan bahwa tubuh dan pikiran saling berinteraksi seperti mengakibatkan maupun mengontrol suatu keadaan (events). Sebagai contoh tubuh berinteraksi dengan pikiran adalah ketika jari seseorang tertusuk, hal itu akan mengakibatkan pikiran merasakan sesuatu (sakit) di dalamnya. Sebaliknya, contoh lain ketika pikiran berinteraksi dengan tubuh adalah kita akan membersihkan halaman rumah ketika rumah dirasa kotor (hal ini membuat pikiran membentuk pola untuk tubuh (controlling) untuk melakukan sesuatu). Sejalan dengan Descrates (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan bahwa tubuh seseorang akan bertindak sendiri (semisal bernafas, aliran darah, jantung, dll) ataupun pikiran yang bertindak (semisal membersihkan ruangan) sebagaimana mestinya (Steinberg dan Sciarini, 2006: 201).

Idealis adalah kaum yang dikenal dengan radical mentalist view karena mereka (seperti Plato, Berkeley, dan Hegel) beranggapan bahwa “Mind is the only stuff”. Mereka menambahkan bahwa sejatinya tubuh, dan benda-benda fisik lainnya adalah konstruksi dari pikiran. Bagi Plato, gagasan yang abadi adalah satu-satunya realita, sedangkan menurut Berkeley, semua pikiran adalah sebagian pikiran dari Tuhan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 201).

2. Perdebatan dalam Behaviorisme: 
    Materialisme, Epiphenomenalisme, Rasionalisme
a.    Materialisme
 Dalam pandangan ini, Watson (via Steinberg dan Sciarini 2006: 202) berpendapat bahwa hanya tubuh (fisik) yang ada (exists), sedang pikiran (mind) dianggap sebagai sebuah fiksi. Oleh karenanya, hanya tubuh saja yang perlu dipelajari (Steinberg dan Sciarini, 2006: 202).

b.    Epiphenomenalisme
 Esensi dari pandangan ini adalah bahwa baik tubuh (body) maupun pikiran (mind) itu ada (exist). Pikiran (mind) secara sederhana merefleksikan apa yang terjadi pada tubuh. Namun sejalan dengan Watson (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 202), pikiran masih tidak mempunyai kekuatan apapun. Didukung oleh Skinner serta para filosof (Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 202), mengusulkan (sebagai fakta) bahwa disposisi tubuh menunjukkan kecendurungan berperilaku. Perbedaan dengan teori dari Watson adalah, Skinner mengakui adanya pikiran (mind) meski dia beranggapan bahwa pikiran tidak mempunyai kekuatan apapun. Skinner (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) juga berpendapat bahwa kaum Behaviouris menolak mengakui tentang penjelasan terkait perasaan (feelings), proses mental (mental procsesses), dan keadaan pikiran (states of mind) dan lebih mencari alternatif lain terkait keadaan genetik dan sejarah lingkungan sekitar. Hal lain yang juga disampaikan oleh Ryle (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan tentang konsep yang ia sebut sebagai Descartes’ ‘ghost in the machine’. Dia menjelaskan bahwa ‘ghost’ disini sebagai keadaan (events) pikiran dan mental, sedang ‘machine’ sebagai tubuh (body). Dia beserta para penganut Epiphenomenalisme menginginkan orang untuk beranggapan bahwa ‘machine’ dapat memproduksi ‘ghosts’ tetapi ‘ghosts’ disini tidak mempunyai efek apapun terkait dengan perilaku kita (Steinberg dan Sciarini, 2006: 202).

c.   Reduksionisme
Para penganut paham Reduksionisme mengatakan bahwa pikiran (mind) dapat dikurangkan (reduced) menjadi fisik (physical). Berbeda dengan para penganut Epiphenomenalisme yang mengatakan bahwa tubuh (body) adalah realita utama. Para penganut Reduksionisme mengungkapkan bahwa tubuh (body) dan pikiran (mind) adalah dua aspek dalam satu realita. Meski ada dua aspek sudut pandang, seseorang dapat mengetahui tentang suatu pikiran (mind) dengan mempelajari studi tentang tubuh, dan tak perlu mempelajari tentang pikiran (Fiegl, Smart dan Armstrong, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203). Mereka menambahkan melalui ilmu metaphysical, pikiran dapat dipelajari sepenuhnya melalui tubuh. Pendukung lain untuk paham ini seperti Osgood (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), Mowrer (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), dan Staats (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), mengungkapkan bahwa respon dan stimulus terjadi di dalam tubuh dan otak, yang kemudian menengahi antara respon dan stimulus yang jelas, dimana ‘kejelasan’ ini menggambarkan kejadian diluar tubuh (Steinberg dan Sciarini, 2006: 203).

Akan tetapi Chomsky kemudian datang dan melawan dengan mengungkapkan argumennya terhadap paham Behaviourisme, yang mana membawa konsep Mentalisme yang menghubungkan antara bahasa dan pikiran. Pembahasan tentang Chomsky akan dijelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya (Steinberg dan Sciarini, 2006: 203).

3.   Perdebatan dalam Mentalisme: Empirisme vs Rasionalisme
a.   Empirisme
Mengacu pada paham Mentalisme, seseorang mempunyai sebuah pikiran yang berhubungan dengan tubuh, namun tidak sama. Pikiran mempunyai kesadaran yang dapat menggunakan akal untuk mengontrol perilaku. Para penganut paham ini mengkategorikan dengan kepercayaan dalam pikiran, gagasan, kesadaran, dan peran kesadaran dalam mengontrol perilaku. Berikut beberapa pandangan pada paham Empirisme (Steinberg dan Sciarini, 2006: 205) :
1)  Pandangan paham Empirisme yang pertama adalah intelegensi berasal dari pengalaman. Para penganut paham ini semua setuju bahwa mereka mengakui akan adanya pikiran (mind), tetapi yang membuat mereka mempunyai pandangan berbeda adalah darimana datangnya gagasan-gagasan (ideas) didalam pikiran. Pada pandangan ini para empiricist meyakini bahwa gagasan berasal dari pengalaman (diambil dari kata empeir yang dalam bahasa yunani berarti pengalaman). Penganut paham Empirisme kemudian berargumen lain bahwa gagasan, seperti intelegensi, tersebut sudah ada sejak manusia lahir (innate). Intelegensi, dalam pemikiran mereka dikategorikan bukan sebagai pengetahuan, akan tetapi sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. John Locke dalam pandangannya mengemukakan bahwa pikiran saat lahir itu ibarat kertas putih (blank) yang kemudian melakukan (experience) kemudian meniru ide atau gagasan itu dan membangun intelegensi berdasarkan gagasan atau ide tersebut (Steinberg dan Sciarini, 2006: 206).
2)  Pandangan paham Empirisme yang kedua adalah intelegensi ada sejak manusia lahir (innate). Putnam (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207) mengemukakan bahwa manusia lahir dengan intelegensi (innate intelligence) yang berkembang melalui evolusi. Dia juga mengemukakan tentang adanya ‘General Multi-Purpose Learning Strategies’ yang menggabungkan dengan intelegensi pada manusia. Dengan kata lain, data sensorik (sensory data) dan perolehan ide/gagasan, adalah berdasarkan pada analisis yang induktif. Piaget pada pandangan in mengambil jalan tengah antara argumen dari Locke dan Putnam dengan mengatakan bahwa intelegensi datang dengan dua cara, yaitu melalui tindakan (action) dan pengalaman (experience) (Piaget, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207). Steinberg sendiri mempunyai pandangan tersendiri. Dia mempunyai argumen sendiri bahwa anak-anak terlahir dengan sesuatu (yang sungguh ada) yang mereka ikut sertakan, dan juga proses yang bersifat analisis terhadap logika yang bersifat inductive dan deductive (Steinberg dan Sciarini, 2006: 206-207).

b.   Rasionalisme
Descartes (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 208) mengungkapkan bahwa kaum Rasionalis ini adalah bahwa gagasan dasar (God, triangle, etc.) telah ada didalam pikiran sejak manusia dilahirkan. Untuk mengaktifasikannya, seseorang menggunakan alasan (ratio dalam bahasa Yunani berarti alasan) untuk menghubungkan dengan pengalaman. Chomsky adalah salah satu orang yang mengembangkan filosofi para Rasionalis (yang mana menjatuhkan paham Behaviorisme). Sebelumnya Chomsky juga beranggapan (walaupun banyak mengubah teori dari Descartes) bahwa pikiran (mind) sudah ada sejak manusia dilahirkan, yang mana selanjutnya dia secara terang-terangan bahwa adanya gagasan lain pada bahasa alami (language nature). Dia menyebutkan bahasa alami ini sebagai Universal Grammar (sebelumnya dia menggunakan istilah Language Acquisition Device). Secara lebih lanjut, dia mengklaim bahwa pembentukan grammar tertentu berkembang melalui proses bahasa dari Universal Grammar. Proses-proses tersebut bisa dikatakan adalah seperti alasan mandiri (independent reason), logika, atau intelegensi (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208). Argumen ini adalah pengembangan dari para pakar Rasionalis klasik sebelumnya seperti Plato, Descartes, dan Leibinitz yang mengungkapkan bahwa sejalan dengan pengalaman, alasan diperlukan untuk memfungsikan pengetahuan sejak lahir (innate knowledge). Para modern Rasionalis lainnya seperti Bever (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208) tidak memisahkan bahasa dengan tipe-tipe lain dari gagasan, namun dia lebih berpendapat bahwa gagasan dari lahir (innate ideas) adalah sebuah alam secara umum (general nature). Alam tersebut dalam pandangan ini adalah untuk ‘memanen bahasa’ ataupun hal lainnya seperti matematika. Meski banyaknya  perbedaan, secara umum para rationalist setuju bahwa pengetahuan sejatinya telah ada sejak manusia dilahirkan. Para Rasionalis lain juga mengatakan bahwa konsep seperti ‘justice, infinity, God, perfection, and triangle’ telah ada sejak lahir. Mereka beranggapan bahwa hal-hal tersebut tidak akan dapat diperoleh melalui pengalaman. Bagaimana mungkin ‘ketidakbatasan’ (infinity) atau Tuhan dapat diperoleh melalu sesuatu yang terbatas? Inilah salah satu hal yang menjadi sulit bagi kaum empiricist. Di sisi lain, Descartes (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208) secara sederhana menjawab pertanyaan itu bahwa Tuhanlah yang menaruh gagasan di dalam pikiran manusia.

4.   Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a.   Sejarah
Sebelum Noam Chomsky (1928) muncul di era 1960 dengan teori Nativistiknya, mayoritas filosof dan psikolog Barat adalah penganut teori Behavioristik (Steinberg, 1993: 139). Nativisme muncul pada pertengahan abad 20 di masa kejayaan Behaviorisme. Pada awalnya Nativisme muncul melalui kritik yang dilontarkan Chomsky terhadap Skinner atas karyanya Verbal Behaviour (Field, 2005: 185). Chomsky bersama teori Nativistik lahir kemudian sebagai bantahan dari teori Behavioristik. Kehadiran Chomsky tidak hanya sukses mematahkan argumen para Behavioris, namun ia juga berhasil membangun teori baru yang cukup baik. Chomsky dengan Nativistiknya mendapat penerimaan baik dari penganut Behavioristik yang akhirnya berpindah aliran. Namun tidak sedikit juga kaum Behavioris yang juga membantahnya, terutama dari kalangan penganut Empirisme. Sebut saja nama Jean Piaget (1896) dan Hilary Putnam (1926) yang selalu aktif dalam membantah teori Nativistik Chomsky (Steinberg, 1993: 139).

b.   Nativistik Menurut Chomsky
Nativistik menurut Chomsky adalah teori yang menyebutkan bahwa bahasa itu diturunkan secara genetik, dan setiap anak terlahir dengan bahasa pembawaan (innate language faculty). Bahasa diperoleh dengan adanya sebuah kemampuan yang di dapatkannya sejak lahir. (Chomsky, via Field, 2005: 185). Manusia terlahir dengan akal yang mengandung pengetahuan pembawaan dalam berbagai bidang. Salah satu dari bidang pembawaan tersebut adalah pembawaan bahasa. Chomsky mengemukakan teorinya yang disebut Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 208).

c.   Universal Grammar
Pada mulanya Chomsky (1965) membuat sebuah hipotesis bahwa setiap bayi yang terlahir ke dunia ini memliki LAD (Language Acquisition Device). LAD ini kemudian berkembang istilahnya menjadi Universal Grammar (Field, 2005: 187). Universal Grammar ini ada pada setiap manusia. Universal Grammar bukan grammar dari sebuah bahasa tertentu. Chomsky mengibaratkan Universal Grammar sebagai prosessor bahasa yang bersifat universal. Bahasa apapun bisa diperoleh dan dipelajari jika Universal Grammar ada dalam diri manusia. Universal Grammar ini juga sebagai pembeda antara manusia dan binatang, karena binatang terlahir dengan tidak memiliki Universal Grammar. Universal Grammar mengandung prinsip dan parameter yang bisa diterapkan pada semua bahasa. Chomsky menegaskan, seperti yang dikutip oleh Steinberg, bahwa lingkungan itu menetapkan tolak ukur dari Universal Grammar yang menghasilkan beberapa bahasa yang berbeda (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 209).

d.   Peran Lingkungan
Lingkungan mempunyai peran untuk mengaktifkan Universal Grammar. Universal Grammar tidak akan berfungsi kecuali seseorang tersebut menerima masukan berupa kata dari lingkungannya. Teori tersebut membedakan dengan teori Empirisme. Penganut Empirisme menekankan pengalaman atau lingkungan sebagai sumber tertinggi dalam memperoleh pengetahuan. Namun ada juga Empiris modern seperti Putnam dan Piaget yang mengakui adanya semacam prosessor yang mereka sebut sebagai Intellegence (kecerdasan) (Steinberg dan Sciarini, 2006: 208).

e.   Empat Pokok Universal Grammar
Chomsky mencetuskan teori Universal Grammar-nya sekaligus beberapa kali merevisi teori tersebut selama bertahun-tahun. Salah satu contoh bentuk revisi Chomsky pada teori Universal Grammar-nya adalah pada mulanya ia mengatakan bahwa Matematika hanya merupakan konsep logika tanpa adanya peran Universal Grammar di dalamnya. Namun kemudian pada tahun 1980 ia merevisi argumennya bahwa dalam Matematika juga terdapat konsep Universal Grammar (Steinberg, 1993: 139).

Secara umum, teori Universal Grammar memiliki empat poin utama. Steinberg membahas satu per satu dari keempat poin tersebut beserta bantahan dari penganut paham Empirisme. Empat poin Universal Grammar beserta bantahannya tersebut adalah sebagai berikut:
     Kemudahan Pemerolehan Bahasa Pada Anak dibanding Orang Dewasa
Argumen:
Chomsky berpendapat bahwa seorang anak kecil memiliki kemampuan belajar bahasa lebih cepat dan mudah dibanding orang dewasa. Poin ini disebut dengan Timescale. Dalam usia 5 tahun, seorang anak sudah bisa menguasai sekitar 5000 lebih kosa kata. Selain itu, di usia 5 tahun seorang anak juga sudah bisa menghasilan ucapan yang terstruktur, bahkan beberapa ada ucapan yang belum pernah ia dengar namun sudah bisa ia kuasai (Field, 2005: 186). Kemampuan tersebut dikarenakan adanya peran pendampingan Innate Language Ideas (yang ia maksud adalah Universal Grammar). Pendapat ini berusaha mematahkan teori kaum Empirisme yang menurut Chomsky sangat lama sekali dalam proses pemerolehan bahasa (Steinberg, 1993: 140).

Bantahan:
Putnam adalah tokoh yang membantah pendapat Chomsky ini dengan mengajukan contoh matematis. Putnam mengambil contoh anak kecil yang dimaksud Chomsky adalah usia antara 4-5 tahun. Dalam satu hari proses belajar bahasa yang terjadi dalam akal anak tersebut misalnya 10 jam. (karena dalam 24 jam seorang anak kecil akan lebih banyak tidur, jadi diambil contoh 10 jam ketika terbangun). Kalau dalam sehari 10 jam, berarti dalam 1 tahun 365 hari x 10= 3650 jam. Jika anak tersebut usianya 4 tahun berarti 3650 jam x 4 = 14600 jam. Apakah 14.600 jam itu waktu yang singkat? Tentu tidak (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Putnam membandingkan dengan pelajar remaja. Jika seorang pelajar memiliki 5 hari dalam seminggu untuk belajar, dan setiap hari belajar selama 2 jam, maka dalam seminggu pelajar tersebut belajar selama 10 jam. Putnam menganggap 10 jam terlalu sedikit sehingga dia menjadikannya 15 jam. Kemudian, jika dalam 1 semester itu ada 18 minggu maka 15 jam x 18 = 270 jam. Anggap saja pelajar tersebut telah belajar bahasa selama 3 semester dalam satu tahun, berarti menjdai 270 jam x 3 = 810 jam per tahun. Jika kita samakan jam belajar pada anak-anak dengan pelajar remaja tersebut, maka pelajar tersebut harus belajar bahasa selama: 14600 : 810 = 18 tahun. Apakah 18 tahun merupakan waktu yang singkat? Tidak. 18 tahun adalah waktu yang lama dalam belajar bahasa dan esensi grammar. Putnam yakin orang-orang tentu akan setuju dengan pendapatnya tersebut. Jika seorang remaja atau dewasa bisa belajar bahasa lebih singkat daripada 18 tahun, berarti siapa yang sebenarnya bisa belajar bahasa lebih cepat dan singkat? Anak-anak atau orang dewasa? (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Putnam juga menambahkan bahwa ternyata proses belajar bahasa pertama pada anak tidak bisa dibilang waktu yang singkat dibandingkan dengan proses pemerolehan bahasa kedua pada orang dewasa. Jadi tidak ada artinya untuk mendampingi proses belajar bahasa anak karena proses pemerolehan bahasa pertama pada anak terjadi secara bertahap dengan pengaruh lingkungan dan pengalaman (empiris) (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Steinberg menambahkan pendapatnya untuk mempertanyakan teori Universal Grammar Chomsky. Secara tegas Chomsky mengatakan bahwa “seorang anak memiliki kemampuan belajar bahasa yang lebih cepat daripada orang dewasa, karena anak memiliki Universal Grammar”. Lalu bagaimana dengan orang dewasa? Apakah mereka tidak memiliki Universal Grammar? Atau Universal Grammar tersebut melemah? Jika orang dewasa yang tidak memiliki Universal Grammar (atau Universal Grammar pada mereka melemah) berarti mereka belajar bahasa kedua melalui cara bertahap melalui pengalaman? Hal ini tentu bertolak belakang dengan argumen Chomsky. Sementara pengamatan membuktikan bahwa orang dewasa mampu belajar bahasa dengan baik karena proses waktu dan masukan dari lingkungan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 213).

   Perkembangan Bahasa Pada Anak
    Argumen:
Chomsky mengemukakan bahwa proses belajar bahasa pada anak dengan tata bahasa yang baik adalah bukti adanya kemampuan pembawaan (yang dia maksud adalah Universal Grammar). Universal Grammar selalu mendampingi anak tersebut dalam proses belajar bahasa (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210). Seorang anak kecil pada awalnya tidak sempurna dalam menggunakan tata bahasa yang baik. Misalnya ketika si anak ingin berkata: “Saya ingin makan nasi bersama ayah” tapi dia hanya mampu berkata “Saya makan ingin nasi ayah bersama”. Chomsky menegaskan itulah sebuah proses belajar bahasa pada anak yang menunjukkan bukti adanya pendampingan Universal Grammar dalam diri anak tersebut (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).

    Bantahan:
Kaum Empiris tentu tidak setuju dengan Chomsky. Mereka mengatakan bahwa bukti pendampingan Universal Grammar dalam proses belajar bahasa anak hanyalah mitos/khayalan belaka. Tidak ada bukti yang bisa terlihat bahwa proses perkembangan bahasa pada anak tersebut didampingi oleh Universal Grammar (Labov, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).
Argumen kaum empiris ini didukung oleh penelitan bahwa dari 1500 ucapan bahasa pada anak hanya 1 kata yang salah sesuai grammar atau hanya sekitar 2 persen kesalahan. Kaum Empiris menegaskan bahwa tidak ada peran Universal Grammar dalam pendampingan perkembangan bahasa. Karena dalam diri anak sudah terprogram grammar  yang benar, dan faktor kesalahan grammatical hanya sedikit (Cromer, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210-211).

3    Kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa
Argumen:
Chomsky menegaskan bahwa setiap anak yang terlahir normal bisa memperoleh bahasa pertamanya dengan baik, tidak peduli bagaimana kecerdasan dan cara belajarnya (Field, 2003: 7). Menurut Chomsky belajar bahasa itu tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat kecerdasan seseorang. Dia berpendapat bahwa grammar pada sebuah bahasa mempunyai formulanya sendiri, bukan berkaitan dengan logika. Oleh karena itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, akan tetapi berhubungan dengan Innate language (pembawaan bahasa). Perbedaan tingkat kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 213).

Bantahan:
Kaum Empiris membantah argumen Chomsky dengan mengatakan bahwa argumen Chomsky tersebut tanpa dasar bukti apapun. Kecerdasan tentulah sangat berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang tentulah semakin mahir tingkat kebahasaannya. Sebagai contoh sederhana, dua orang yang mempunyai kecerdasaan rendah dan tinggi dalam belajar bermain kartu, menyetir mobil dan hal lain. Sama halnya dengan belajar bahasa, seseorang yang kecerdasannya terlalu rendah maka proses belajar bahasanya kurang. Bukti lain yang mendukung adalah beberapa orang penderita Down’s Syndrome. IQ mereka sekitar 50 (sedangkan IQ rata-rata orang normal adalah 100) (Bellugi, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).
Pada tahun 1975 Putnam mengemukakan bantahan kuat terhadap Chomsky berkaitan dengan konsep kecerdasan. Dalam konsep Matematika tidak mengenal adanya sistem genetik. Artinya, kecerdasan ilmu hitung tidak bisa diwariskan secara keturunan. Keahlian dalam bidang Matematika diperoleh melalui penemuan dari kecerdasan. Jika kecerdasan bisa menghasilkan keahlian matematika, tentu kecerdasan tidak ada masalah terhadap kemampuan berbahasa. Artinya, tidak perlu adanya konsep Innate Language Ideas atau yang Chomsky sebut sebagai Universal Grammar (Putnam, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).

4      Multibahasa Pada Anak
Argumen:
Seorang anak yang terlahir dari kedua orang tua yang memiliki bahasa yang berbeda, bagaimana cara anak tersebut mempelajari bahasa? Misalnya Sang Ayah berbicara Bahasa Inggris dan Sang Ibu berbicara Bahasa Jepang. Menurut Chomsky, seorang anak tersebut tidaklah memiliki kesulitan yang spesifik dalam belajar dua bahasa tersebut. Pada pada usianya yang 4 atau 5 tahun anak tersebut sudah bisa lancar berbicara dua bahasa. Hal ini tidak lain karena adanya Universal Grammar pada diri anak tersebut. Universal Grammar memiliki sifat yang universal terhadap semua bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215).

Bantahan:
Bagaimana Universal Grammar bisa menerima dua bahasa yang berbeda dengan sebuah parameter tunggal? Apakah setiap anak memiliki lebih dari satu Universal Grammar dalam dirinya? Atau apakah akal bisa menduplikasi sebuah Universal Grammar menjadi banyak sehingga masing-masing bisa mempelajari bahasa yang berbeda?
Hal ini adalah bukti bahwa mempelajari multibahasa diperlukan adanya kecerdasan dalam diri seorang anak. Jika ternyata kecerdasan yang mendominasi peran seseorang bisa belajar lebih dari dua bahasa, tentu tidak artinya menempatkan Universal Grammar di tempat pertama sebagai alasan mengapa seorang anak bisa belajar lebih dari satu bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215-216).

Konklusi
 Baik Behavioristik maupun Nativistik tidak ada yang mampu menjelaskan argumennya secara pasti dan mutlak. Hal ini sungguh wajar mengingat perdebatan ini adalah mengenai sesuatu yang abstrak, rumit dan kadang tidak pasti seperti ide, pengetahuan, aturan, prinsip dan kecerdasan. Tentu bukanlah hal yang mudah menjelaskan sesuatu yang bersumber dari idea Ketuhanan, kekekalan, dan kebenaran. Bagi kaum Behavioris argumen mereka akan patah jika dikaitkan dengan ketidakterbatasan segala hal yang ada di alam ini. Segala sesuatu yang ada di alam ini bersifat sangat luas tidak terbatas. Tentu tidak mungkin hal tersebut dikuasai hanya lewat pengalaman yang mempunyai sifat terbatas dan manusia sendiri yang mempunyai sifat tidak sempurna. (Steinberg, 1993: 152)

Bagi kaum Nativis yang meletakkan pembawaan sebagai sumber dan puncak dari pemerolehan pengetahuan, tentu juga bisa terpatahkan. Dapatkah hal tersebut ternyata diperoleh dari pengalaman, faktor keturunan atau hal lain yang tidak dapat dipecahkan? Bagi kelompok yang bersifat netral, perdebatan antara Behavioristik dan Nativistik menjadi tidak bisa meyakinkan mereka. Debat antara keduanya yang telah berlangsung tanpa penyelesaian selama ribuan tahun, tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadi selama ribuan tahun ke depan. (Steinberg, 1993: 153).


DAFTAR PUSTAKA

Field, John. 2003. Psycholinguistics – A Resource Book for Students. Oxon: Routledge.
Field, John. 2005. Psycholinguistics – The Key Concepts. London: Routledge.
Steinberg, D. Danny. 1993. An Introduction to Psycholinguistics. London: Longman.
Steinberg, D. Danny. dan Sciarini V. Natalia. 2006. An Introduction to Psycholinguisitcs. United Kingdom: Pearson Education Limited.