Minggu, 11 Juni 2017

BEHAVIORISTIK VS NATIVISTIK

Outline Kajian
1.   Materialisme vs Mentalisme
a)  Materialisme
b)  Mentalisme
1)  Interaksionis
2)  Idealis
2.   Pendapat Kaum Behaviouris (Materialis)
a)  Pandangan penganut paham Materialisme
b)  Pandangan penganut paham Epiphenomenalisme
c)  Pandangan penganut paham Reductionisme
3.   Pendapat dari Kaum Nativis (Mentalis)
a)  Pandangan penganut paham Empirisme
b)  Pandangan pertama tentang intelegensi datang dari pengalaman
c)  Pandangan kedua tentang intelegensi sudah ada sejak dari lahir
d)  Pandangan penganut paham Rasionalisme
4.   Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a)  Sejarah
b)  Nativistik menurut Chomsky
c)  Pengertian Universal Grammar
d)  Peran Lingkungan
e)  Empat pokok dari Universal Grammar
1)  Kemudahan Pemerolehan Bahasa Anak dibanding Orang Dewasa
2)  Perkembangan Bahasa pada Anak
3)  Peran Kecerdasan dalam Proses Pemerolehan Bahasa pada Anak
4)  Multibahasa pada Anak

Kajian


1.   Materialisme vs Mentalisme
a.   Materialisme
Sebagai bapak Materialisme (Behaviorisme), John B. Watson mengungkapkan “there was only one stuff in the universe, the material or matter and the study of physiology is the study of psychology” (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200). Dengan kata lain bahwa studi psikologi adalah sama dengan studi fisiologi (tubuh).
Chalmers (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) sebagai seorang yang mengungkapkan tentang fungsionalis, menambahkan tentang adanya karakteristik mental, termasuk kesadaran, kepada benda-benda yang dia sebut ‘mati’ (inanimate). Behavioris lain seperti Skinner dan Osgood (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) mengakui akan adanya pikiran, namun memposisikan pikiran tersebut bahwa pikiran tidaklah mempunyai kekuatan apa-apa. Didukung oleh para pakar lainnya (Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) sebagaimana mereka mencontohkan dalam bukunya bahwa objek dari psikologis (ketika objek sedang bertindak.) bukanlah karena pikiran (mind). Meski ada perbedaan dari para anti-mentalism theorists, mereka sama-sama setuju untuk berpendapat bahwa mereka sama-sama berdebat tentang studi tentang fisik (tubuh, termasuk otak) di mana mereka dapat menghubungkan fungsi dan proses tubuh pada situasi dan peristiwa di lingkungan sekitar (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200).

b.   Mentalisme
Berlawanan dengan penganut materialisme, kaum mentalis berpendapat bahwa pikiran mempunyai sifat yang berbeda dari materi. Jika John B. Watson mengatakan hanya ada satu hal (materi) yang ada di semesta ini, maka para kaum mentalis membedakannya menjadi 2, yaitu materi (material) dan mental (mental). Doktrin tersebut sudah digunakan pada masa Yunani kuno sampai masa sekarang (era Chomsky, Searle, dan juga Steinberg). Sebagian besar para pakar psikolinguistik dan linguistik modern adalah kaum mentalis. Bagi mereka, sangatlah penting pemahaman dalam pikiran dan kesadaran terhadap pemahaman intelektual pada manusia, terutama bahasa. Mereka berpendapat bahwa mereka menempatkan penekanan (mempelajari) pikiran dan interaksi tubuh untuk memahami proses pembelajaran bahasa pada anak-anak. Dua hal dasar dari pikiran dan relasi tubuh sebagai stimulus dan respon (kebiasaan) menurut mereka adalah Interaksionis dan Idealis (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200).

Interaksionis adalah kaum yang beranggapan bahwa tubuh dan pikiran saling berinteraksi seperti mengakibatkan maupun mengontrol suatu keadaan (events). Sebagai contoh tubuh berinteraksi dengan pikiran adalah ketika jari seseorang tertusuk, hal itu akan mengakibatkan pikiran merasakan sesuatu (sakit) di dalamnya. Sebaliknya, contoh lain ketika pikiran berinteraksi dengan tubuh adalah kita akan membersihkan halaman rumah ketika rumah dirasa kotor (hal ini membuat pikiran membentuk pola untuk tubuh (controlling) untuk melakukan sesuatu). Sejalan dengan Descrates (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan bahwa tubuh seseorang akan bertindak sendiri (semisal bernafas, aliran darah, jantung, dll) ataupun pikiran yang bertindak (semisal membersihkan ruangan) sebagaimana mestinya (Steinberg dan Sciarini, 2006: 201).

Idealis adalah kaum yang dikenal dengan radical mentalist view karena mereka (seperti Plato, Berkeley, dan Hegel) beranggapan bahwa “Mind is the only stuff”. Mereka menambahkan bahwa sejatinya tubuh, dan benda-benda fisik lainnya adalah konstruksi dari pikiran. Bagi Plato, gagasan yang abadi adalah satu-satunya realita, sedangkan menurut Berkeley, semua pikiran adalah sebagian pikiran dari Tuhan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 201).

2. Perdebatan dalam Behaviorisme: 
    Materialisme, Epiphenomenalisme, Rasionalisme
a.    Materialisme
 Dalam pandangan ini, Watson (via Steinberg dan Sciarini 2006: 202) berpendapat bahwa hanya tubuh (fisik) yang ada (exists), sedang pikiran (mind) dianggap sebagai sebuah fiksi. Oleh karenanya, hanya tubuh saja yang perlu dipelajari (Steinberg dan Sciarini, 2006: 202).

b.    Epiphenomenalisme
 Esensi dari pandangan ini adalah bahwa baik tubuh (body) maupun pikiran (mind) itu ada (exist). Pikiran (mind) secara sederhana merefleksikan apa yang terjadi pada tubuh. Namun sejalan dengan Watson (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 202), pikiran masih tidak mempunyai kekuatan apapun. Didukung oleh Skinner serta para filosof (Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 202), mengusulkan (sebagai fakta) bahwa disposisi tubuh menunjukkan kecendurungan berperilaku. Perbedaan dengan teori dari Watson adalah, Skinner mengakui adanya pikiran (mind) meski dia beranggapan bahwa pikiran tidak mempunyai kekuatan apapun. Skinner (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) juga berpendapat bahwa kaum Behaviouris menolak mengakui tentang penjelasan terkait perasaan (feelings), proses mental (mental procsesses), dan keadaan pikiran (states of mind) dan lebih mencari alternatif lain terkait keadaan genetik dan sejarah lingkungan sekitar. Hal lain yang juga disampaikan oleh Ryle (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan tentang konsep yang ia sebut sebagai Descartes’ ‘ghost in the machine’. Dia menjelaskan bahwa ‘ghost’ disini sebagai keadaan (events) pikiran dan mental, sedang ‘machine’ sebagai tubuh (body). Dia beserta para penganut Epiphenomenalisme menginginkan orang untuk beranggapan bahwa ‘machine’ dapat memproduksi ‘ghosts’ tetapi ‘ghosts’ disini tidak mempunyai efek apapun terkait dengan perilaku kita (Steinberg dan Sciarini, 2006: 202).

c.   Reduksionisme
Para penganut paham Reduksionisme mengatakan bahwa pikiran (mind) dapat dikurangkan (reduced) menjadi fisik (physical). Berbeda dengan para penganut Epiphenomenalisme yang mengatakan bahwa tubuh (body) adalah realita utama. Para penganut Reduksionisme mengungkapkan bahwa tubuh (body) dan pikiran (mind) adalah dua aspek dalam satu realita. Meski ada dua aspek sudut pandang, seseorang dapat mengetahui tentang suatu pikiran (mind) dengan mempelajari studi tentang tubuh, dan tak perlu mempelajari tentang pikiran (Fiegl, Smart dan Armstrong, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203). Mereka menambahkan melalui ilmu metaphysical, pikiran dapat dipelajari sepenuhnya melalui tubuh. Pendukung lain untuk paham ini seperti Osgood (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), Mowrer (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), dan Staats (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), mengungkapkan bahwa respon dan stimulus terjadi di dalam tubuh dan otak, yang kemudian menengahi antara respon dan stimulus yang jelas, dimana ‘kejelasan’ ini menggambarkan kejadian diluar tubuh (Steinberg dan Sciarini, 2006: 203).

Akan tetapi Chomsky kemudian datang dan melawan dengan mengungkapkan argumennya terhadap paham Behaviourisme, yang mana membawa konsep Mentalisme yang menghubungkan antara bahasa dan pikiran. Pembahasan tentang Chomsky akan dijelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya (Steinberg dan Sciarini, 2006: 203).

3.   Perdebatan dalam Mentalisme: Empirisme vs Rasionalisme
a.   Empirisme
Mengacu pada paham Mentalisme, seseorang mempunyai sebuah pikiran yang berhubungan dengan tubuh, namun tidak sama. Pikiran mempunyai kesadaran yang dapat menggunakan akal untuk mengontrol perilaku. Para penganut paham ini mengkategorikan dengan kepercayaan dalam pikiran, gagasan, kesadaran, dan peran kesadaran dalam mengontrol perilaku. Berikut beberapa pandangan pada paham Empirisme (Steinberg dan Sciarini, 2006: 205) :
1)  Pandangan paham Empirisme yang pertama adalah intelegensi berasal dari pengalaman. Para penganut paham ini semua setuju bahwa mereka mengakui akan adanya pikiran (mind), tetapi yang membuat mereka mempunyai pandangan berbeda adalah darimana datangnya gagasan-gagasan (ideas) didalam pikiran. Pada pandangan ini para empiricist meyakini bahwa gagasan berasal dari pengalaman (diambil dari kata empeir yang dalam bahasa yunani berarti pengalaman). Penganut paham Empirisme kemudian berargumen lain bahwa gagasan, seperti intelegensi, tersebut sudah ada sejak manusia lahir (innate). Intelegensi, dalam pemikiran mereka dikategorikan bukan sebagai pengetahuan, akan tetapi sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. John Locke dalam pandangannya mengemukakan bahwa pikiran saat lahir itu ibarat kertas putih (blank) yang kemudian melakukan (experience) kemudian meniru ide atau gagasan itu dan membangun intelegensi berdasarkan gagasan atau ide tersebut (Steinberg dan Sciarini, 2006: 206).
2)  Pandangan paham Empirisme yang kedua adalah intelegensi ada sejak manusia lahir (innate). Putnam (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207) mengemukakan bahwa manusia lahir dengan intelegensi (innate intelligence) yang berkembang melalui evolusi. Dia juga mengemukakan tentang adanya ‘General Multi-Purpose Learning Strategies’ yang menggabungkan dengan intelegensi pada manusia. Dengan kata lain, data sensorik (sensory data) dan perolehan ide/gagasan, adalah berdasarkan pada analisis yang induktif. Piaget pada pandangan in mengambil jalan tengah antara argumen dari Locke dan Putnam dengan mengatakan bahwa intelegensi datang dengan dua cara, yaitu melalui tindakan (action) dan pengalaman (experience) (Piaget, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207). Steinberg sendiri mempunyai pandangan tersendiri. Dia mempunyai argumen sendiri bahwa anak-anak terlahir dengan sesuatu (yang sungguh ada) yang mereka ikut sertakan, dan juga proses yang bersifat analisis terhadap logika yang bersifat inductive dan deductive (Steinberg dan Sciarini, 2006: 206-207).

b.   Rasionalisme
Descartes (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 208) mengungkapkan bahwa kaum Rasionalis ini adalah bahwa gagasan dasar (God, triangle, etc.) telah ada didalam pikiran sejak manusia dilahirkan. Untuk mengaktifasikannya, seseorang menggunakan alasan (ratio dalam bahasa Yunani berarti alasan) untuk menghubungkan dengan pengalaman. Chomsky adalah salah satu orang yang mengembangkan filosofi para Rasionalis (yang mana menjatuhkan paham Behaviorisme). Sebelumnya Chomsky juga beranggapan (walaupun banyak mengubah teori dari Descartes) bahwa pikiran (mind) sudah ada sejak manusia dilahirkan, yang mana selanjutnya dia secara terang-terangan bahwa adanya gagasan lain pada bahasa alami (language nature). Dia menyebutkan bahasa alami ini sebagai Universal Grammar (sebelumnya dia menggunakan istilah Language Acquisition Device). Secara lebih lanjut, dia mengklaim bahwa pembentukan grammar tertentu berkembang melalui proses bahasa dari Universal Grammar. Proses-proses tersebut bisa dikatakan adalah seperti alasan mandiri (independent reason), logika, atau intelegensi (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208). Argumen ini adalah pengembangan dari para pakar Rasionalis klasik sebelumnya seperti Plato, Descartes, dan Leibinitz yang mengungkapkan bahwa sejalan dengan pengalaman, alasan diperlukan untuk memfungsikan pengetahuan sejak lahir (innate knowledge). Para modern Rasionalis lainnya seperti Bever (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208) tidak memisahkan bahasa dengan tipe-tipe lain dari gagasan, namun dia lebih berpendapat bahwa gagasan dari lahir (innate ideas) adalah sebuah alam secara umum (general nature). Alam tersebut dalam pandangan ini adalah untuk ‘memanen bahasa’ ataupun hal lainnya seperti matematika. Meski banyaknya  perbedaan, secara umum para rationalist setuju bahwa pengetahuan sejatinya telah ada sejak manusia dilahirkan. Para Rasionalis lain juga mengatakan bahwa konsep seperti ‘justice, infinity, God, perfection, and triangle’ telah ada sejak lahir. Mereka beranggapan bahwa hal-hal tersebut tidak akan dapat diperoleh melalui pengalaman. Bagaimana mungkin ‘ketidakbatasan’ (infinity) atau Tuhan dapat diperoleh melalu sesuatu yang terbatas? Inilah salah satu hal yang menjadi sulit bagi kaum empiricist. Di sisi lain, Descartes (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208) secara sederhana menjawab pertanyaan itu bahwa Tuhanlah yang menaruh gagasan di dalam pikiran manusia.

4.   Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a.   Sejarah
Sebelum Noam Chomsky (1928) muncul di era 1960 dengan teori Nativistiknya, mayoritas filosof dan psikolog Barat adalah penganut teori Behavioristik (Steinberg, 1993: 139). Nativisme muncul pada pertengahan abad 20 di masa kejayaan Behaviorisme. Pada awalnya Nativisme muncul melalui kritik yang dilontarkan Chomsky terhadap Skinner atas karyanya Verbal Behaviour (Field, 2005: 185). Chomsky bersama teori Nativistik lahir kemudian sebagai bantahan dari teori Behavioristik. Kehadiran Chomsky tidak hanya sukses mematahkan argumen para Behavioris, namun ia juga berhasil membangun teori baru yang cukup baik. Chomsky dengan Nativistiknya mendapat penerimaan baik dari penganut Behavioristik yang akhirnya berpindah aliran. Namun tidak sedikit juga kaum Behavioris yang juga membantahnya, terutama dari kalangan penganut Empirisme. Sebut saja nama Jean Piaget (1896) dan Hilary Putnam (1926) yang selalu aktif dalam membantah teori Nativistik Chomsky (Steinberg, 1993: 139).

b.   Nativistik Menurut Chomsky
Nativistik menurut Chomsky adalah teori yang menyebutkan bahwa bahasa itu diturunkan secara genetik, dan setiap anak terlahir dengan bahasa pembawaan (innate language faculty). Bahasa diperoleh dengan adanya sebuah kemampuan yang di dapatkannya sejak lahir. (Chomsky, via Field, 2005: 185). Manusia terlahir dengan akal yang mengandung pengetahuan pembawaan dalam berbagai bidang. Salah satu dari bidang pembawaan tersebut adalah pembawaan bahasa. Chomsky mengemukakan teorinya yang disebut Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 208).

c.   Universal Grammar
Pada mulanya Chomsky (1965) membuat sebuah hipotesis bahwa setiap bayi yang terlahir ke dunia ini memliki LAD (Language Acquisition Device). LAD ini kemudian berkembang istilahnya menjadi Universal Grammar (Field, 2005: 187). Universal Grammar ini ada pada setiap manusia. Universal Grammar bukan grammar dari sebuah bahasa tertentu. Chomsky mengibaratkan Universal Grammar sebagai prosessor bahasa yang bersifat universal. Bahasa apapun bisa diperoleh dan dipelajari jika Universal Grammar ada dalam diri manusia. Universal Grammar ini juga sebagai pembeda antara manusia dan binatang, karena binatang terlahir dengan tidak memiliki Universal Grammar. Universal Grammar mengandung prinsip dan parameter yang bisa diterapkan pada semua bahasa. Chomsky menegaskan, seperti yang dikutip oleh Steinberg, bahwa lingkungan itu menetapkan tolak ukur dari Universal Grammar yang menghasilkan beberapa bahasa yang berbeda (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 209).

d.   Peran Lingkungan
Lingkungan mempunyai peran untuk mengaktifkan Universal Grammar. Universal Grammar tidak akan berfungsi kecuali seseorang tersebut menerima masukan berupa kata dari lingkungannya. Teori tersebut membedakan dengan teori Empirisme. Penganut Empirisme menekankan pengalaman atau lingkungan sebagai sumber tertinggi dalam memperoleh pengetahuan. Namun ada juga Empiris modern seperti Putnam dan Piaget yang mengakui adanya semacam prosessor yang mereka sebut sebagai Intellegence (kecerdasan) (Steinberg dan Sciarini, 2006: 208).

e.   Empat Pokok Universal Grammar
Chomsky mencetuskan teori Universal Grammar-nya sekaligus beberapa kali merevisi teori tersebut selama bertahun-tahun. Salah satu contoh bentuk revisi Chomsky pada teori Universal Grammar-nya adalah pada mulanya ia mengatakan bahwa Matematika hanya merupakan konsep logika tanpa adanya peran Universal Grammar di dalamnya. Namun kemudian pada tahun 1980 ia merevisi argumennya bahwa dalam Matematika juga terdapat konsep Universal Grammar (Steinberg, 1993: 139).

Secara umum, teori Universal Grammar memiliki empat poin utama. Steinberg membahas satu per satu dari keempat poin tersebut beserta bantahan dari penganut paham Empirisme. Empat poin Universal Grammar beserta bantahannya tersebut adalah sebagai berikut:
     Kemudahan Pemerolehan Bahasa Pada Anak dibanding Orang Dewasa
Argumen:
Chomsky berpendapat bahwa seorang anak kecil memiliki kemampuan belajar bahasa lebih cepat dan mudah dibanding orang dewasa. Poin ini disebut dengan Timescale. Dalam usia 5 tahun, seorang anak sudah bisa menguasai sekitar 5000 lebih kosa kata. Selain itu, di usia 5 tahun seorang anak juga sudah bisa menghasilan ucapan yang terstruktur, bahkan beberapa ada ucapan yang belum pernah ia dengar namun sudah bisa ia kuasai (Field, 2005: 186). Kemampuan tersebut dikarenakan adanya peran pendampingan Innate Language Ideas (yang ia maksud adalah Universal Grammar). Pendapat ini berusaha mematahkan teori kaum Empirisme yang menurut Chomsky sangat lama sekali dalam proses pemerolehan bahasa (Steinberg, 1993: 140).

Bantahan:
Putnam adalah tokoh yang membantah pendapat Chomsky ini dengan mengajukan contoh matematis. Putnam mengambil contoh anak kecil yang dimaksud Chomsky adalah usia antara 4-5 tahun. Dalam satu hari proses belajar bahasa yang terjadi dalam akal anak tersebut misalnya 10 jam. (karena dalam 24 jam seorang anak kecil akan lebih banyak tidur, jadi diambil contoh 10 jam ketika terbangun). Kalau dalam sehari 10 jam, berarti dalam 1 tahun 365 hari x 10= 3650 jam. Jika anak tersebut usianya 4 tahun berarti 3650 jam x 4 = 14600 jam. Apakah 14.600 jam itu waktu yang singkat? Tentu tidak (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Putnam membandingkan dengan pelajar remaja. Jika seorang pelajar memiliki 5 hari dalam seminggu untuk belajar, dan setiap hari belajar selama 2 jam, maka dalam seminggu pelajar tersebut belajar selama 10 jam. Putnam menganggap 10 jam terlalu sedikit sehingga dia menjadikannya 15 jam. Kemudian, jika dalam 1 semester itu ada 18 minggu maka 15 jam x 18 = 270 jam. Anggap saja pelajar tersebut telah belajar bahasa selama 3 semester dalam satu tahun, berarti menjdai 270 jam x 3 = 810 jam per tahun. Jika kita samakan jam belajar pada anak-anak dengan pelajar remaja tersebut, maka pelajar tersebut harus belajar bahasa selama: 14600 : 810 = 18 tahun. Apakah 18 tahun merupakan waktu yang singkat? Tidak. 18 tahun adalah waktu yang lama dalam belajar bahasa dan esensi grammar. Putnam yakin orang-orang tentu akan setuju dengan pendapatnya tersebut. Jika seorang remaja atau dewasa bisa belajar bahasa lebih singkat daripada 18 tahun, berarti siapa yang sebenarnya bisa belajar bahasa lebih cepat dan singkat? Anak-anak atau orang dewasa? (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Putnam juga menambahkan bahwa ternyata proses belajar bahasa pertama pada anak tidak bisa dibilang waktu yang singkat dibandingkan dengan proses pemerolehan bahasa kedua pada orang dewasa. Jadi tidak ada artinya untuk mendampingi proses belajar bahasa anak karena proses pemerolehan bahasa pertama pada anak terjadi secara bertahap dengan pengaruh lingkungan dan pengalaman (empiris) (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).

Steinberg menambahkan pendapatnya untuk mempertanyakan teori Universal Grammar Chomsky. Secara tegas Chomsky mengatakan bahwa “seorang anak memiliki kemampuan belajar bahasa yang lebih cepat daripada orang dewasa, karena anak memiliki Universal Grammar”. Lalu bagaimana dengan orang dewasa? Apakah mereka tidak memiliki Universal Grammar? Atau Universal Grammar tersebut melemah? Jika orang dewasa yang tidak memiliki Universal Grammar (atau Universal Grammar pada mereka melemah) berarti mereka belajar bahasa kedua melalui cara bertahap melalui pengalaman? Hal ini tentu bertolak belakang dengan argumen Chomsky. Sementara pengamatan membuktikan bahwa orang dewasa mampu belajar bahasa dengan baik karena proses waktu dan masukan dari lingkungan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 213).

   Perkembangan Bahasa Pada Anak
    Argumen:
Chomsky mengemukakan bahwa proses belajar bahasa pada anak dengan tata bahasa yang baik adalah bukti adanya kemampuan pembawaan (yang dia maksud adalah Universal Grammar). Universal Grammar selalu mendampingi anak tersebut dalam proses belajar bahasa (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210). Seorang anak kecil pada awalnya tidak sempurna dalam menggunakan tata bahasa yang baik. Misalnya ketika si anak ingin berkata: “Saya ingin makan nasi bersama ayah” tapi dia hanya mampu berkata “Saya makan ingin nasi ayah bersama”. Chomsky menegaskan itulah sebuah proses belajar bahasa pada anak yang menunjukkan bukti adanya pendampingan Universal Grammar dalam diri anak tersebut (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).

    Bantahan:
Kaum Empiris tentu tidak setuju dengan Chomsky. Mereka mengatakan bahwa bukti pendampingan Universal Grammar dalam proses belajar bahasa anak hanyalah mitos/khayalan belaka. Tidak ada bukti yang bisa terlihat bahwa proses perkembangan bahasa pada anak tersebut didampingi oleh Universal Grammar (Labov, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).
Argumen kaum empiris ini didukung oleh penelitan bahwa dari 1500 ucapan bahasa pada anak hanya 1 kata yang salah sesuai grammar atau hanya sekitar 2 persen kesalahan. Kaum Empiris menegaskan bahwa tidak ada peran Universal Grammar dalam pendampingan perkembangan bahasa. Karena dalam diri anak sudah terprogram grammar  yang benar, dan faktor kesalahan grammatical hanya sedikit (Cromer, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210-211).

3    Kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa
Argumen:
Chomsky menegaskan bahwa setiap anak yang terlahir normal bisa memperoleh bahasa pertamanya dengan baik, tidak peduli bagaimana kecerdasan dan cara belajarnya (Field, 2003: 7). Menurut Chomsky belajar bahasa itu tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat kecerdasan seseorang. Dia berpendapat bahwa grammar pada sebuah bahasa mempunyai formulanya sendiri, bukan berkaitan dengan logika. Oleh karena itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, akan tetapi berhubungan dengan Innate language (pembawaan bahasa). Perbedaan tingkat kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 213).

Bantahan:
Kaum Empiris membantah argumen Chomsky dengan mengatakan bahwa argumen Chomsky tersebut tanpa dasar bukti apapun. Kecerdasan tentulah sangat berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang tentulah semakin mahir tingkat kebahasaannya. Sebagai contoh sederhana, dua orang yang mempunyai kecerdasaan rendah dan tinggi dalam belajar bermain kartu, menyetir mobil dan hal lain. Sama halnya dengan belajar bahasa, seseorang yang kecerdasannya terlalu rendah maka proses belajar bahasanya kurang. Bukti lain yang mendukung adalah beberapa orang penderita Down’s Syndrome. IQ mereka sekitar 50 (sedangkan IQ rata-rata orang normal adalah 100) (Bellugi, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).
Pada tahun 1975 Putnam mengemukakan bantahan kuat terhadap Chomsky berkaitan dengan konsep kecerdasan. Dalam konsep Matematika tidak mengenal adanya sistem genetik. Artinya, kecerdasan ilmu hitung tidak bisa diwariskan secara keturunan. Keahlian dalam bidang Matematika diperoleh melalui penemuan dari kecerdasan. Jika kecerdasan bisa menghasilkan keahlian matematika, tentu kecerdasan tidak ada masalah terhadap kemampuan berbahasa. Artinya, tidak perlu adanya konsep Innate Language Ideas atau yang Chomsky sebut sebagai Universal Grammar (Putnam, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).

4      Multibahasa Pada Anak
Argumen:
Seorang anak yang terlahir dari kedua orang tua yang memiliki bahasa yang berbeda, bagaimana cara anak tersebut mempelajari bahasa? Misalnya Sang Ayah berbicara Bahasa Inggris dan Sang Ibu berbicara Bahasa Jepang. Menurut Chomsky, seorang anak tersebut tidaklah memiliki kesulitan yang spesifik dalam belajar dua bahasa tersebut. Pada pada usianya yang 4 atau 5 tahun anak tersebut sudah bisa lancar berbicara dua bahasa. Hal ini tidak lain karena adanya Universal Grammar pada diri anak tersebut. Universal Grammar memiliki sifat yang universal terhadap semua bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215).

Bantahan:
Bagaimana Universal Grammar bisa menerima dua bahasa yang berbeda dengan sebuah parameter tunggal? Apakah setiap anak memiliki lebih dari satu Universal Grammar dalam dirinya? Atau apakah akal bisa menduplikasi sebuah Universal Grammar menjadi banyak sehingga masing-masing bisa mempelajari bahasa yang berbeda?
Hal ini adalah bukti bahwa mempelajari multibahasa diperlukan adanya kecerdasan dalam diri seorang anak. Jika ternyata kecerdasan yang mendominasi peran seseorang bisa belajar lebih dari dua bahasa, tentu tidak artinya menempatkan Universal Grammar di tempat pertama sebagai alasan mengapa seorang anak bisa belajar lebih dari satu bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215-216).

Konklusi
 Baik Behavioristik maupun Nativistik tidak ada yang mampu menjelaskan argumennya secara pasti dan mutlak. Hal ini sungguh wajar mengingat perdebatan ini adalah mengenai sesuatu yang abstrak, rumit dan kadang tidak pasti seperti ide, pengetahuan, aturan, prinsip dan kecerdasan. Tentu bukanlah hal yang mudah menjelaskan sesuatu yang bersumber dari idea Ketuhanan, kekekalan, dan kebenaran. Bagi kaum Behavioris argumen mereka akan patah jika dikaitkan dengan ketidakterbatasan segala hal yang ada di alam ini. Segala sesuatu yang ada di alam ini bersifat sangat luas tidak terbatas. Tentu tidak mungkin hal tersebut dikuasai hanya lewat pengalaman yang mempunyai sifat terbatas dan manusia sendiri yang mempunyai sifat tidak sempurna. (Steinberg, 1993: 152)

Bagi kaum Nativis yang meletakkan pembawaan sebagai sumber dan puncak dari pemerolehan pengetahuan, tentu juga bisa terpatahkan. Dapatkah hal tersebut ternyata diperoleh dari pengalaman, faktor keturunan atau hal lain yang tidak dapat dipecahkan? Bagi kelompok yang bersifat netral, perdebatan antara Behavioristik dan Nativistik menjadi tidak bisa meyakinkan mereka. Debat antara keduanya yang telah berlangsung tanpa penyelesaian selama ribuan tahun, tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadi selama ribuan tahun ke depan. (Steinberg, 1993: 153).


DAFTAR PUSTAKA

Field, John. 2003. Psycholinguistics – A Resource Book for Students. Oxon: Routledge.
Field, John. 2005. Psycholinguistics – The Key Concepts. London: Routledge.
Steinberg, D. Danny. 1993. An Introduction to Psycholinguistics. London: Longman.
Steinberg, D. Danny. dan Sciarini V. Natalia. 2006. An Introduction to Psycholinguisitcs. United Kingdom: Pearson Education Limited.

0 komentar:

Posting Komentar