Outline Kajian
1. Materialisme
vs Mentalisme
a) Materialisme
b) Mentalisme
1) Interaksionis
2) Idealis
2.
Pendapat Kaum Behaviouris (Materialis)
a) Pandangan
penganut paham Materialisme
b) Pandangan
penganut paham Epiphenomenalisme
c) Pandangan
penganut paham Reductionisme
3. Pendapat dari Kaum Nativis (Mentalis)
a) Pandangan penganut paham Empirisme
b) Pandangan pertama tentang
intelegensi datang dari pengalaman
c) Pandangan kedua tentang
intelegensi sudah ada sejak dari lahir
d) Pandangan penganut paham Rasionalisme
4.
Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a) Sejarah
b) Nativistik menurut Chomsky
c) Pengertian Universal
Grammar
d) Peran Lingkungan
e) Empat pokok dari Universal
Grammar
1) Kemudahan Pemerolehan Bahasa Anak
dibanding Orang Dewasa
2) Perkembangan Bahasa pada Anak
3) Peran Kecerdasan dalam Proses
Pemerolehan Bahasa pada Anak
4) Multibahasa pada Anak
1.
Materialisme
vs Mentalisme
a.
Materialisme
Sebagai
bapak Materialisme (Behaviorisme),
John B. Watson mengungkapkan “there was
only one stuff in the universe, the material or matter and the study of physiology
is the study of psychology” (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200). Dengan
kata lain bahwa studi psikologi adalah sama dengan studi fisiologi (tubuh).
Chalmers (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200)
sebagai seorang yang mengungkapkan tentang fungsionalis, menambahkan tentang
adanya karakteristik mental, termasuk kesadaran, kepada benda-benda yang dia
sebut ‘mati’ (inanimate). Behavioris lain seperti Skinner dan Osgood (via Steinberg dan Sciarini, 2006:
200) mengakui akan adanya pikiran, namun memposisikan pikiran tersebut bahwa
pikiran tidaklah mempunyai kekuatan apa-apa. Didukung oleh para pakar lainnya
(Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 200) sebagaimana mereka
mencontohkan dalam bukunya bahwa objek dari psikologis (ketika objek sedang
bertindak.) bukanlah karena pikiran (mind).
Meski ada perbedaan dari para anti-mentalism
theorists, mereka sama-sama setuju untuk berpendapat bahwa mereka sama-sama
berdebat tentang studi tentang fisik (tubuh, termasuk otak) di mana mereka
dapat menghubungkan fungsi dan proses tubuh pada situasi dan peristiwa di
lingkungan sekitar (Steinberg dan Sciarini, 2006: 200).
b.
Mentalisme
Berlawanan
dengan penganut materialisme, kaum mentalis berpendapat bahwa pikiran mempunyai
sifat yang berbeda dari materi.
Jika John B. Watson mengatakan hanya ada satu hal (materi) yang ada di semesta
ini, maka para kaum mentalis membedakannya menjadi 2, yaitu materi (material) dan mental (mental). Doktrin tersebut sudah digunakan
pada masa Yunani kuno sampai masa sekarang (era Chomsky, Searle, dan juga
Steinberg). Sebagian besar para pakar psikolinguistik dan linguistik modern adalah
kaum mentalis. Bagi mereka, sangatlah penting pemahaman dalam pikiran dan
kesadaran terhadap pemahaman intelektual pada manusia, terutama bahasa. Mereka
berpendapat bahwa mereka menempatkan penekanan (mempelajari) pikiran dan
interaksi tubuh untuk memahami proses pembelajaran bahasa pada anak-anak. Dua
hal dasar dari pikiran dan relasi tubuh sebagai stimulus dan respon (kebiasaan)
menurut mereka adalah Interaksionis
dan Idealis (Steinberg dan
Sciarini, 2006: 200).
Interaksionis adalah kaum yang beranggapan bahwa
tubuh dan pikiran saling berinteraksi seperti
mengakibatkan maupun mengontrol suatu keadaan (events). Sebagai contoh tubuh berinteraksi dengan pikiran adalah
ketika jari seseorang tertusuk, hal itu akan mengakibatkan pikiran merasakan
sesuatu (sakit) di dalamnya. Sebaliknya, contoh lain ketika pikiran
berinteraksi dengan tubuh adalah kita akan membersihkan halaman rumah ketika
rumah dirasa kotor (hal ini membuat pikiran membentuk pola untuk tubuh (controlling) untuk melakukan sesuatu).
Sejalan dengan Descrates (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan
bahwa tubuh seseorang akan bertindak sendiri (semisal bernafas, aliran darah,
jantung, dll) ataupun pikiran yang bertindak (semisal membersihkan ruangan)
sebagaimana mestinya (Steinberg dan Sciarini, 2006: 201).
Idealis adalah kaum yang dikenal dengan radical mentalist view karena mereka (seperti Plato, Berkeley, dan Hegel) beranggapan bahwa “Mind is the only stuff”. Mereka menambahkan bahwa sejatinya tubuh,
dan benda-benda fisik lainnya adalah konstruksi dari pikiran. Bagi Plato,
gagasan yang abadi adalah satu-satunya realita, sedangkan menurut Berkeley,
semua pikiran adalah sebagian pikiran dari Tuhan (Steinberg dan Sciarini, 2006:
201).
2. Perdebatan
dalam Behaviorisme:
Materialisme, Epiphenomenalisme, Rasionalisme
Materialisme, Epiphenomenalisme, Rasionalisme
a.
Materialisme
Dalam pandangan ini, Watson (via Steinberg dan
Sciarini 2006: 202) berpendapat bahwa hanya tubuh (fisik) yang ada (exists), sedang pikiran (mind) dianggap sebagai sebuah fiksi.
Oleh karenanya, hanya tubuh saja yang perlu dipelajari (Steinberg dan Sciarini,
2006: 202).
b.
Epiphenomenalisme
Esensi dari pandangan ini adalah bahwa baik
tubuh (body) maupun pikiran (mind) itu ada (exist). Pikiran (mind) secara sederhana merefleksikan apa
yang terjadi pada tubuh. Namun sejalan dengan Watson (via Steinberg dan
Sciarini, 2006: 202), pikiran masih tidak mempunyai kekuatan apapun. Didukung
oleh Skinner serta para filosof (Ryle dan Quine, via Steinberg dan Sciarini,
2006: 202), mengusulkan (sebagai fakta) bahwa disposisi tubuh menunjukkan
kecendurungan berperilaku. Perbedaan dengan teori dari Watson adalah, Skinner
mengakui adanya pikiran (mind) meski
dia beranggapan bahwa pikiran tidak mempunyai kekuatan apapun. Skinner (via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 201) juga berpendapat bahwa kaum Behaviouris menolak
mengakui tentang penjelasan terkait perasaan (feelings), proses mental (mental
procsesses), dan keadaan pikiran (states
of mind) dan lebih mencari alternatif lain terkait keadaan genetik dan
sejarah lingkungan sekitar. Hal lain yang juga disampaikan oleh Ryle (via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 201) mengungkapkan tentang konsep yang ia sebut sebagai Descartes’ ‘ghost in the machine’. Dia
menjelaskan bahwa ‘ghost’ disini
sebagai keadaan (events) pikiran dan
mental, sedang ‘machine’ sebagai
tubuh (body). Dia beserta para
penganut Epiphenomenalisme menginginkan orang untuk beranggapan
bahwa ‘machine’ dapat memproduksi ‘ghosts’ tetapi ‘ghosts’ disini tidak mempunyai efek apapun terkait dengan perilaku
kita (Steinberg dan Sciarini, 2006: 202).
c.
Reduksionisme
Para
penganut paham Reduksionisme mengatakan bahwa pikiran (mind) dapat dikurangkan (reduced) menjadi fisik (physical). Berbeda dengan para penganut Epiphenomenalisme yang mengatakan bahwa tubuh (body) adalah realita utama. Para
penganut Reduksionisme mengungkapkan bahwa tubuh (body) dan pikiran (mind) adalah dua aspek dalam satu realita. Meski ada dua aspek
sudut pandang, seseorang dapat mengetahui tentang suatu pikiran (mind) dengan mempelajari studi tentang
tubuh, dan tak perlu mempelajari tentang pikiran (Fiegl, Smart dan Armstrong, via
Steinberg dan Sciarini, 2006: 203). Mereka menambahkan melalui ilmu metaphysical, pikiran dapat dipelajari
sepenuhnya melalui tubuh. Pendukung lain untuk paham ini seperti Osgood (via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 203), Mowrer (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), dan
Staats (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 203), mengungkapkan bahwa respon dan
stimulus terjadi di dalam tubuh dan otak, yang kemudian menengahi antara respon
dan stimulus yang jelas, dimana ‘kejelasan’ ini menggambarkan kejadian diluar
tubuh (Steinberg dan Sciarini, 2006: 203).
Akan
tetapi Chomsky kemudian datang dan melawan dengan mengungkapkan argumennya
terhadap paham Behaviourisme, yang mana membawa konsep Mentalisme yang menghubungkan antara bahasa dan pikiran. Pembahasan tentang
Chomsky akan dijelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya (Steinberg dan Sciarini,
2006: 203).
3. Perdebatan
dalam Mentalisme: Empirisme vs Rasionalisme
a.
Empirisme
Mengacu
pada paham Mentalisme, seseorang mempunyai sebuah pikiran yang berhubungan
dengan tubuh, namun tidak sama. Pikiran mempunyai kesadaran yang dapat
menggunakan akal untuk mengontrol perilaku. Para penganut paham ini
mengkategorikan dengan kepercayaan dalam pikiran, gagasan, kesadaran, dan peran
kesadaran dalam mengontrol perilaku. Berikut beberapa pandangan pada paham Empirisme
(Steinberg dan Sciarini, 2006: 205) :
1) Pandangan paham Empirisme yang
pertama adalah intelegensi berasal dari pengalaman. Para penganut paham ini
semua setuju bahwa mereka mengakui akan adanya pikiran (mind), tetapi yang membuat mereka mempunyai pandangan berbeda
adalah darimana datangnya gagasan-gagasan (ideas)
didalam pikiran. Pada pandangan ini para empiricist meyakini bahwa gagasan
berasal dari pengalaman (diambil dari kata empeir
yang dalam bahasa yunani berarti pengalaman). Penganut paham Empirisme
kemudian berargumen lain bahwa gagasan, seperti intelegensi, tersebut sudah ada
sejak manusia lahir (innate).
Intelegensi, dalam pemikiran mereka dikategorikan bukan sebagai pengetahuan,
akan tetapi sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. John Locke dalam
pandangannya mengemukakan bahwa pikiran saat lahir itu ibarat kertas putih (blank) yang kemudian melakukan (experience) kemudian meniru ide atau
gagasan itu dan membangun intelegensi berdasarkan gagasan atau ide tersebut (Steinberg
dan Sciarini, 2006: 206).
2) Pandangan paham Empirisme yang
kedua adalah intelegensi ada sejak manusia lahir (innate). Putnam (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207) mengemukakan
bahwa manusia lahir dengan intelegensi (innate
intelligence) yang berkembang melalui evolusi. Dia juga mengemukakan
tentang adanya ‘General Multi-Purpose
Learning Strategies’ yang menggabungkan dengan intelegensi pada manusia.
Dengan kata lain, data sensorik (sensory
data) dan perolehan ide/gagasan, adalah berdasarkan pada analisis yang
induktif. Piaget pada pandangan in mengambil jalan tengah antara argumen dari
Locke dan Putnam dengan mengatakan bahwa intelegensi datang dengan dua cara,
yaitu melalui tindakan (action) dan
pengalaman (experience) (Piaget, via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 207). Steinberg sendiri mempunyai pandangan tersendiri. Dia
mempunyai argumen sendiri bahwa anak-anak terlahir dengan sesuatu (yang sungguh
ada) yang mereka ikut sertakan, dan juga proses yang bersifat analisis terhadap
logika yang bersifat inductive dan deductive (Steinberg dan Sciarini, 2006:
206-207).
b.
Rasionalisme
Descartes
(via Steinberg dan Sciarini, 2006: 208) mengungkapkan bahwa kaum Rasionalis ini
adalah bahwa gagasan dasar (God, triangle, etc.) telah ada didalam pikiran
sejak manusia dilahirkan. Untuk mengaktifasikannya, seseorang menggunakan
alasan (ratio dalam bahasa Yunani
berarti alasan) untuk menghubungkan dengan pengalaman. Chomsky adalah salah satu
orang yang mengembangkan filosofi para Rasionalis (yang mana menjatuhkan paham
Behaviorisme). Sebelumnya Chomsky juga beranggapan (walaupun banyak mengubah
teori dari Descartes) bahwa pikiran (mind)
sudah ada sejak manusia dilahirkan, yang mana selanjutnya dia secara
terang-terangan bahwa adanya gagasan lain pada bahasa alami (language nature). Dia menyebutkan bahasa
alami ini sebagai Universal Grammar
(sebelumnya dia menggunakan istilah Language
Acquisition Device). Secara lebih lanjut, dia mengklaim bahwa pembentukan grammar
tertentu berkembang melalui proses bahasa dari Universal Grammar. Proses-proses tersebut bisa dikatakan adalah
seperti alasan mandiri (independent
reason), logika, atau intelegensi (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini,
2006: 207-208). Argumen ini adalah pengembangan dari para pakar Rasionalis
klasik sebelumnya seperti Plato, Descartes, dan Leibinitz yang mengungkapkan
bahwa sejalan dengan pengalaman, alasan diperlukan untuk memfungsikan
pengetahuan sejak lahir (innate knowledge).
Para modern Rasionalis lainnya seperti Bever (via Steinberg dan Sciarini, 2006:
207-208) tidak memisahkan bahasa dengan tipe-tipe lain dari gagasan, namun dia
lebih berpendapat bahwa gagasan dari lahir (innate
ideas) adalah sebuah alam secara umum (general
nature). Alam tersebut dalam pandangan ini adalah untuk ‘memanen bahasa’
ataupun hal lainnya seperti matematika. Meski banyaknya perbedaan, secara umum para rationalist
setuju bahwa pengetahuan sejatinya telah ada sejak manusia dilahirkan. Para Rasionalis
lain juga mengatakan bahwa konsep seperti ‘justice,
infinity, God, perfection, and triangle’ telah ada sejak lahir. Mereka
beranggapan bahwa hal-hal tersebut tidak akan dapat diperoleh melalui
pengalaman. Bagaimana mungkin ‘ketidakbatasan’ (infinity) atau Tuhan dapat diperoleh melalu sesuatu yang terbatas?
Inilah salah satu hal yang menjadi sulit bagi kaum empiricist. Di sisi lain,
Descartes (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 207-208) secara sederhana menjawab
pertanyaan itu bahwa Tuhanlah yang menaruh gagasan di dalam pikiran manusia.
4.
Argumen Chomsky tentang Pemerolehan Bahasa pada Manusia
a. Sejarah
Sebelum
Noam Chomsky (1928) muncul di era 1960 dengan teori Nativistiknya, mayoritas
filosof dan psikolog Barat adalah penganut teori Behavioristik (Steinberg,
1993: 139). Nativisme muncul pada pertengahan abad 20 di masa kejayaan
Behaviorisme. Pada awalnya Nativisme muncul melalui kritik yang dilontarkan
Chomsky terhadap Skinner atas karyanya Verbal Behaviour (Field, 2005:
185). Chomsky bersama teori Nativistik lahir kemudian sebagai bantahan dari
teori Behavioristik. Kehadiran Chomsky tidak hanya sukses mematahkan argumen
para Behavioris, namun ia juga berhasil membangun teori baru yang cukup baik. Chomsky
dengan Nativistiknya mendapat penerimaan baik dari penganut Behavioristik yang
akhirnya berpindah aliran. Namun tidak sedikit juga kaum Behavioris yang juga
membantahnya, terutama dari kalangan penganut Empirisme. Sebut saja nama Jean Piaget
(1896) dan Hilary Putnam (1926) yang selalu aktif dalam membantah teori Nativistik
Chomsky (Steinberg, 1993: 139).
b.
Nativistik Menurut Chomsky
Nativistik
menurut Chomsky adalah teori yang menyebutkan bahwa bahasa itu diturunkan
secara genetik, dan setiap anak terlahir dengan bahasa pembawaan (innate
language faculty). Bahasa diperoleh dengan adanya sebuah kemampuan yang di
dapatkannya sejak lahir. (Chomsky, via Field, 2005: 185). Manusia terlahir
dengan akal yang mengandung pengetahuan pembawaan dalam berbagai bidang. Salah
satu dari bidang pembawaan tersebut adalah pembawaan bahasa. Chomsky
mengemukakan teorinya yang disebut Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 208).
c. Universal
Grammar
Pada
mulanya Chomsky (1965) membuat sebuah hipotesis bahwa setiap bayi yang terlahir
ke dunia ini memliki LAD (Language Acquisition Device). LAD ini kemudian
berkembang istilahnya menjadi Universal Grammar (Field, 2005: 187). Universal
Grammar ini ada pada setiap manusia. Universal Grammar bukan grammar
dari sebuah bahasa tertentu. Chomsky mengibaratkan Universal Grammar
sebagai prosessor bahasa yang bersifat universal. Bahasa apapun bisa diperoleh
dan dipelajari jika Universal Grammar ada dalam diri manusia. Universal
Grammar ini juga sebagai pembeda antara manusia dan binatang, karena
binatang terlahir dengan tidak memiliki Universal Grammar. Universal
Grammar mengandung prinsip dan parameter yang bisa diterapkan pada semua
bahasa. Chomsky menegaskan, seperti yang dikutip oleh Steinberg, bahwa
lingkungan itu menetapkan tolak ukur dari Universal Grammar yang
menghasilkan beberapa bahasa yang berbeda (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini,
2006: 209).
d. Peran
Lingkungan
Lingkungan
mempunyai peran untuk mengaktifkan Universal Grammar. Universal
Grammar tidak akan berfungsi kecuali seseorang tersebut menerima masukan
berupa kata dari lingkungannya. Teori tersebut membedakan dengan teori
Empirisme. Penganut Empirisme menekankan pengalaman atau lingkungan sebagai
sumber tertinggi dalam memperoleh pengetahuan. Namun ada juga Empiris modern
seperti Putnam dan Piaget yang mengakui adanya semacam prosessor yang mereka
sebut sebagai Intellegence (kecerdasan) (Steinberg dan Sciarini, 2006: 208).
e. Empat
Pokok Universal Grammar
Chomsky
mencetuskan teori Universal Grammar-nya sekaligus beberapa kali merevisi
teori tersebut selama bertahun-tahun. Salah satu contoh bentuk revisi Chomsky
pada teori Universal Grammar-nya adalah pada mulanya ia mengatakan bahwa
Matematika hanya merupakan konsep logika tanpa adanya peran Universal
Grammar di dalamnya. Namun kemudian pada tahun 1980 ia merevisi argumennya
bahwa dalam Matematika juga terdapat konsep Universal Grammar (Steinberg,
1993: 139).
Secara
umum, teori Universal Grammar memiliki empat poin utama. Steinberg
membahas satu per satu dari keempat poin tersebut beserta bantahan dari
penganut paham Empirisme. Empat poin Universal Grammar beserta
bantahannya tersebut adalah sebagai berikut:
Kemudahan Pemerolehan Bahasa
Pada Anak dibanding Orang Dewasa
Argumen:
Chomsky
berpendapat bahwa seorang anak kecil memiliki kemampuan belajar bahasa lebih
cepat dan mudah dibanding orang dewasa. Poin ini disebut dengan Timescale. Dalam
usia 5 tahun, seorang anak sudah bisa menguasai sekitar 5000 lebih kosa kata.
Selain itu, di usia 5 tahun seorang anak juga sudah bisa menghasilan ucapan
yang terstruktur, bahkan beberapa ada ucapan yang belum pernah ia dengar namun
sudah bisa ia kuasai (Field, 2005: 186). Kemampuan tersebut dikarenakan adanya
peran pendampingan Innate Language Ideas (yang ia maksud adalah Universal
Grammar). Pendapat ini berusaha mematahkan teori kaum Empirisme yang
menurut Chomsky sangat lama sekali dalam proses pemerolehan bahasa (Steinberg,
1993: 140).
Bantahan:
Putnam
adalah tokoh yang membantah pendapat Chomsky ini dengan mengajukan contoh
matematis. Putnam mengambil contoh anak kecil yang dimaksud Chomsky adalah usia
antara 4-5 tahun. Dalam satu hari proses belajar bahasa yang terjadi dalam akal
anak tersebut misalnya 10 jam. (karena dalam 24 jam seorang anak kecil akan
lebih banyak tidur, jadi diambil contoh 10 jam ketika terbangun). Kalau dalam
sehari 10 jam, berarti dalam 1 tahun 365 hari x 10= 3650 jam. Jika anak
tersebut usianya 4 tahun berarti 3650 jam x 4 = 14600 jam. Apakah 14.600 jam
itu waktu yang singkat? Tentu tidak (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).
Putnam
membandingkan dengan pelajar remaja. Jika seorang pelajar memiliki 5 hari dalam
seminggu untuk belajar, dan setiap hari belajar selama 2 jam, maka dalam
seminggu pelajar tersebut belajar selama 10 jam. Putnam menganggap 10 jam
terlalu sedikit sehingga dia menjadikannya 15 jam. Kemudian, jika dalam 1
semester itu ada 18 minggu maka 15 jam x 18 = 270 jam. Anggap saja pelajar
tersebut telah belajar bahasa selama 3 semester dalam satu tahun, berarti
menjdai 270 jam x 3 = 810 jam per tahun. Jika kita samakan jam belajar pada
anak-anak dengan pelajar remaja tersebut, maka pelajar tersebut harus belajar
bahasa selama: 14600 : 810 = 18 tahun. Apakah 18 tahun merupakan waktu yang
singkat? Tidak. 18 tahun adalah waktu yang lama dalam belajar bahasa dan esensi
grammar. Putnam yakin orang-orang tentu akan setuju dengan pendapatnya
tersebut. Jika seorang remaja atau dewasa bisa belajar bahasa lebih singkat daripada
18 tahun, berarti siapa yang sebenarnya bisa belajar bahasa lebih cepat dan
singkat? Anak-anak atau orang dewasa? (Putnam, via Steinberg, 1993: 141).
Putnam
juga menambahkan bahwa ternyata proses belajar bahasa pertama pada anak tidak
bisa dibilang waktu yang singkat dibandingkan dengan proses pemerolehan bahasa
kedua pada orang dewasa. Jadi tidak ada artinya untuk mendampingi proses
belajar bahasa anak karena proses pemerolehan bahasa pertama pada anak terjadi
secara bertahap dengan pengaruh lingkungan dan pengalaman (empiris) (Putnam, via
Steinberg, 1993: 141).
Steinberg
menambahkan pendapatnya untuk mempertanyakan teori Universal Grammar
Chomsky. Secara tegas Chomsky mengatakan bahwa “seorang anak memiliki kemampuan
belajar bahasa yang lebih cepat daripada orang dewasa, karena anak memiliki Universal
Grammar”. Lalu bagaimana dengan orang dewasa? Apakah mereka tidak memiliki Universal
Grammar? Atau Universal Grammar tersebut melemah? Jika orang dewasa yang
tidak memiliki Universal Grammar (atau Universal Grammar pada
mereka melemah) berarti mereka belajar bahasa kedua melalui cara bertahap
melalui pengalaman? Hal ini tentu bertolak belakang dengan argumen Chomsky.
Sementara pengamatan membuktikan bahwa orang dewasa mampu belajar bahasa dengan
baik karena proses waktu dan masukan dari lingkungan (Steinberg dan Sciarini,
2006: 213).
2 Perkembangan Bahasa Pada Anak
Argumen:
Chomsky
mengemukakan bahwa proses belajar bahasa pada anak dengan tata bahasa yang baik
adalah bukti adanya kemampuan pembawaan (yang dia maksud adalah Universal
Grammar). Universal Grammar selalu mendampingi anak tersebut dalam
proses belajar bahasa (Chomsky, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210). Seorang
anak kecil pada awalnya tidak sempurna dalam menggunakan tata bahasa yang baik.
Misalnya ketika si anak ingin berkata: “Saya ingin makan nasi bersama ayah”
tapi dia hanya mampu berkata “Saya makan ingin nasi ayah bersama”. Chomsky
menegaskan itulah sebuah proses belajar bahasa pada anak yang menunjukkan bukti
adanya pendampingan Universal Grammar dalam diri anak tersebut (Chomsky,
via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).
Bantahan:
Kaum
Empiris tentu tidak setuju dengan Chomsky. Mereka mengatakan bahwa bukti
pendampingan Universal Grammar dalam proses belajar bahasa anak hanyalah
mitos/khayalan belaka. Tidak ada bukti yang bisa terlihat bahwa proses
perkembangan bahasa pada anak tersebut didampingi oleh Universal Grammar
(Labov, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210).
Argumen kaum empiris ini didukung oleh penelitan bahwa dari 1500 ucapan bahasa pada anak hanya 1 kata yang salah sesuai grammar atau hanya sekitar 2 persen kesalahan. Kaum Empiris menegaskan bahwa tidak ada peran Universal Grammar dalam pendampingan perkembangan bahasa. Karena dalam diri anak sudah terprogram grammar yang benar, dan faktor kesalahan grammatical hanya sedikit (Cromer, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210-211).
Argumen kaum empiris ini didukung oleh penelitan bahwa dari 1500 ucapan bahasa pada anak hanya 1 kata yang salah sesuai grammar atau hanya sekitar 2 persen kesalahan. Kaum Empiris menegaskan bahwa tidak ada peran Universal Grammar dalam pendampingan perkembangan bahasa. Karena dalam diri anak sudah terprogram grammar yang benar, dan faktor kesalahan grammatical hanya sedikit (Cromer, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 210-211).
3 Kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap
pembelajaran bahasa
Argumen:
Chomsky
menegaskan bahwa setiap anak yang terlahir normal bisa memperoleh bahasa
pertamanya dengan baik, tidak peduli bagaimana kecerdasan dan cara belajarnya
(Field, 2003: 7). Menurut Chomsky belajar bahasa itu tidak ada pengaruhnya
terhadap tingkat kecerdasan seseorang. Dia berpendapat bahwa grammar
pada sebuah bahasa mempunyai formulanya sendiri, bukan berkaitan dengan logika.
Oleh karena itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, akan tetapi
berhubungan dengan Innate language (pembawaan bahasa). Perbedaan tingkat
kecerdasan seseorang tidak berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya. Adapun
faktor yang mempengaruhi adalah Universal Grammar (Chomsky, via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 213).
Bantahan:
Kaum
Empiris membantah argumen Chomsky dengan mengatakan bahwa argumen Chomsky
tersebut tanpa dasar bukti apapun. Kecerdasan tentulah sangat berpengaruh
terhadap pembelajaran bahasa. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang
tentulah semakin mahir tingkat kebahasaannya. Sebagai contoh sederhana, dua orang
yang mempunyai kecerdasaan rendah dan tinggi dalam belajar bermain kartu,
menyetir mobil dan hal lain. Sama halnya dengan belajar bahasa, seseorang yang
kecerdasannya terlalu rendah maka proses belajar bahasanya kurang. Bukti lain
yang mendukung adalah beberapa orang penderita Down’s Syndrome. IQ
mereka sekitar 50 (sedangkan IQ rata-rata orang normal adalah 100) (Bellugi,
via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).
Pada
tahun 1975 Putnam mengemukakan bantahan kuat terhadap Chomsky berkaitan dengan
konsep kecerdasan. Dalam konsep Matematika tidak mengenal adanya sistem
genetik. Artinya, kecerdasan ilmu hitung tidak bisa diwariskan secara
keturunan. Keahlian dalam bidang Matematika diperoleh melalui penemuan dari
kecerdasan. Jika kecerdasan bisa menghasilkan keahlian matematika, tentu
kecerdasan tidak ada masalah terhadap kemampuan berbahasa. Artinya, tidak perlu
adanya konsep Innate Language Ideas atau yang Chomsky sebut sebagai Universal
Grammar (Putnam, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 214).
Argumen:
Seorang
anak yang terlahir dari kedua orang tua yang memiliki bahasa yang berbeda,
bagaimana cara anak tersebut mempelajari bahasa? Misalnya Sang Ayah berbicara
Bahasa Inggris dan Sang Ibu berbicara Bahasa Jepang. Menurut Chomsky, seorang
anak tersebut tidaklah memiliki kesulitan yang spesifik dalam belajar dua
bahasa tersebut. Pada pada usianya yang 4 atau 5 tahun anak tersebut sudah bisa
lancar berbicara dua bahasa. Hal ini tidak lain karena adanya Universal Grammar
pada diri anak tersebut. Universal Grammar memiliki sifat yang universal
terhadap semua bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215).
Bantahan:
Bagaimana
Universal Grammar bisa menerima dua bahasa yang berbeda dengan sebuah
parameter tunggal? Apakah setiap anak memiliki lebih dari satu Universal
Grammar dalam dirinya? Atau apakah akal bisa menduplikasi sebuah Universal
Grammar menjadi banyak sehingga masing-masing bisa mempelajari bahasa yang
berbeda?
Hal
ini adalah bukti bahwa mempelajari multibahasa diperlukan adanya kecerdasan
dalam diri seorang anak. Jika ternyata kecerdasan yang mendominasi peran
seseorang bisa belajar lebih dari dua bahasa, tentu tidak artinya menempatkan Universal
Grammar di tempat pertama sebagai alasan mengapa seorang anak bisa belajar
lebih dari satu bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 215-216).
Konklusi
Baik Behavioristik maupun Nativistik tidak ada
yang mampu menjelaskan argumennya secara pasti dan mutlak. Hal ini sungguh
wajar mengingat perdebatan ini adalah mengenai sesuatu yang abstrak, rumit dan
kadang tidak pasti seperti ide, pengetahuan, aturan, prinsip dan kecerdasan.
Tentu bukanlah hal yang mudah menjelaskan sesuatu yang bersumber dari idea
Ketuhanan, kekekalan, dan kebenaran. Bagi kaum Behavioris argumen mereka akan
patah jika dikaitkan dengan ketidakterbatasan segala hal yang ada di alam ini.
Segala sesuatu yang ada di alam ini bersifat sangat luas tidak terbatas. Tentu
tidak mungkin hal tersebut dikuasai hanya lewat pengalaman yang mempunyai sifat
terbatas dan manusia sendiri yang mempunyai sifat tidak sempurna. (Steinberg, 1993:
152)
Bagi kaum Nativis yang meletakkan
pembawaan sebagai sumber dan puncak dari pemerolehan pengetahuan, tentu juga
bisa terpatahkan. Dapatkah hal tersebut ternyata diperoleh dari pengalaman,
faktor keturunan atau hal lain yang tidak dapat dipecahkan? Bagi kelompok yang
bersifat netral, perdebatan antara Behavioristik dan Nativistik menjadi tidak
bisa meyakinkan mereka. Debat antara keduanya yang telah berlangsung tanpa
penyelesaian selama ribuan tahun, tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadi
selama ribuan tahun ke depan. (Steinberg, 1993: 153).
DAFTAR PUSTAKA
Field,
John. 2003. Psycholinguistics – A
Resource Book for Students. Oxon: Routledge.
Field, John. 2005. Psycholinguistics – The Key
Concepts. London: Routledge.
Steinberg, D.
Danny. 1993. An Introduction to Psycholinguistics. London: Longman.
Steinberg,
D. Danny. dan Sciarini V. Natalia. 2006. An
Introduction to Psycholinguisitcs. United Kingdom: Pearson Education
Limited.
0 komentar:
Posting Komentar