Senin, 12 Juni 2017

ALIH KODE, CAMPUR KODE, HONORIFIK DAN SAPAAN

1.Alih kode
  Appel via Chaer (2010: 107) Alih kode merupakan salah satu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi percakapan. Secara lebih rinci alih kode merupakan peralihan penggunaaan bahasa yang digunakan oleh orang dimana orang itu menggunakan bahasa yang konvensional supaya terjadi komunikasi yang baik antara orang yang sedang berbicara tersebut. perubahan penggunaan bahasa tersebut akan terjadi dengan sendirinya supaya terjadi komunikasi yang baik.
Hymes via Chaer (2010: 107)Alih kode tidak hanya meliputi perubahan penggunaan bahasa saja, melinkan penggunaan ragam- ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Karena bahasa merupakan bahsan yang sangat luas, maka campur kode juga memliki cakupan perubahan yang sangat luas pula. Cakupan perubahan tersebut tidak hanya dari bahasa-bahasa tertentu yang digunakan oleh sutu Negara melainkan bahasa-bahasa daerah yang digunakana oleh masyarakant yang ada dalam sebuah Negara.
Sebab terjadinya alih kode seprti konsep dasar yang dikemukakan Fishman via Chaer (2010: 108) yaitu  siapa saja yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa untuk berbicara. Secara lebih terperinci penyebab alih kode  diantaranya sebagai berikut:
  a) Pembicara atau penutur
  b) Pendengar atau lawan tutur
  c) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
  d) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
  e) Perubahan topik pembicaraan
  Perubahan bahasa ini dilatarbelakangi oleh banyak  hal, diantaranya masyarakat pada umumnya memiliki lebih dari satu bahasa, dimana dalam keseharian mereka dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar menggunakan bahasa tertentu contoh jawa, dan untuk mengimbangi laawan bicara yang orang itu adalah orang sunda maka terjadilah perubahan bahasa diantara keduanya itu, yaitu menggunakan bahasa Indonesia, diakerenalka  bahasa Indonesia adalah bahsa nasional yang digunakan sebagai pemersatu bangsa.
Banyak faktor penyebab terjadinya alik kode, faktor ini terjadi karena beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat penutur atau ragam bahasa yang terdapat dlam masyarakat tersebut. Selain dari lima faktor penyebab terjainya alih kode, ada beberpa penyebab lagi yang menjadikan alih kode itu terjadi (Widjayakusumah via Chaer, 2010:112). 
  a) Kehadiran orang ketiga
  b) Perpindahan topic dari yang non teknis ke yang teknis
  c) Beralihnya suasana bicara
  d) Ingin dianggap “terpelajar”
  e) Ingin menjauhkan jarak
  f) Menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa daerah
  g) Mengutip pembicaraan orang lain
  h) Terpengaruh bahasa lawan yang beralih menggunakan  bahsas Indonesia
  i) Mitra berbicaranya lebih mudah
  j) Berada ditempat umum
  k) Menunjukan bahasa pertamanya bukan bahasa daerah
  l) Beralih media/ cara bicara
Sedangkan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah karena:
  a) Perginya orang ketiga
  b) Topiknya dari hal teknis ke hal non teknis
  c) Suasana berubah dari resmi ke tidak resmi
  d) Merasa ganjil tidak berbahasa daerah dengan orang sedaerahnya
  e) Ingin mendekatkan jarak
  f) Ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa daerah yang halus, dan berakrab-akraban dengan menggunakan bahasa daerah yang kasar
  g) Terpengaruh oleh lawan bicara yang menggunakan bahasa daerah
  h) Perginya generasi muda, mitra bicara yang lain lebih muda
  i) Merasa ditempat sendiri bukan ditempat umum
  j) Ingin menunukan bahasa pertamanya adalah bahasa daerah
  k) Beralih bicara biasa tanpa alat seperti telfon
Contoh Alih kode dalam percakapan di angkringan
Pedagang angkringan             : “Pak, kae tempene di entas mengko ndak gosong”
Suami pedagang angringan        : “Sedilit meneh, kui durung patio mateng. Kae si A digaweke           wedange sik”
Pedangang angkringan        : “Kamu tadi mau minum apa A, lupa aku”.
Orang Batak         : “Kopi item bu, gula sedikit saja.”
  Dari contoh diatas terjadi alih kode ketika pedagang angkringan berbicara dengan suaminya yang sama-sama orang Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa, ketika berbicara dengan orang Batak si pedagang angkringan langsung beralih menggunakan bahasa Indonesia untuk menanyakan pesanan yang dipesan.

2. Campur Kode
  Kesamaan alih kode dan campur kode memang memberikan kesukaran, karena memang memiliki kemiripan. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih. Yang perlu dipahami dalam membedakan alih kode dan campur kode yaitu, ketika berbicara masalah alih kode berati setiap bahasa tersebut memiliki fungsi masing-masing dan dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja berdasarkan sebab- ssebab tertentu. Sedangkan Campur kode bahasa yang digunakan hanyalah sebuah sisipan-sisipan bahasa yang paling sering digunakan, yang muncul dengan tidak sadar karena sudah sangat melekat sebagai alat komunikasi yang paling sering digunakan ( Chaer, 2010: 114).
Contoh Campur Kode dalam percakapan di warung angkringan dan di parkiran
Orang Batak : “Kemarin batu akikku saya jual laku 200”
Pedagang Angkringan : “Akikmu yang Bachan itu po”
Orang Batak : “Iya”
Pedagang angkringan : “Lha kamu tidak dapat bathi no.”
Orang Batak :“Ya, tidak apa, saya sedang butuh uang”

Berdasarkan contoh (1) ada percampuran penggunaan bahasa jawa ketika berkomunikasi dengan orang batak  terdapat kata Bathi no, po, kata tersebut adalah kata dalam bahasa jawa, dan komunikasi tersebut berlangsung dengan menggunakan bahasa Indonesia, karena yang diajak komunikasi adalah orang Batak.
Orang Jambi : “Bu, saya sudah”
Pedagang Angkringan : “Apa saja?”
Orang Jambi : “Nasi kalih, tempe tiga, sama es teh Satu”
Pedagang Angkringan : “Dadine enam ribu”

Contoh kedua percampuran penggunaan bahasa jawa juga terjadi ketika orang Jambi sedang berbicara dengan pedagang angkringan karena telah selesai makan. Percampuran bahasa jawa tersebut terdapat dalam kata kalih, dan dadine. Percampuran bahasa tersebut dilakukan oleh anak Jambi yang sudah lama tinggal di Yogyakarta dan pedagang angkringan.
Pedagang angkringan : “Mas unju’ane apa mas?”
Orang Jambi : “Saya es teh bu”

Contoh ketiga, ketika pedagang angkringan menawarkan minuman kepada orang Jambi ada percampurang bahasa yang terdapat dalam  kata unju’ane. Anak jambi yang kemudian menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Tukang parkir : “Niki ke utara atau ke selatan mas?”
Pengendara motor : “Ke utara pak, ini pak.”
Tukang parkir : “Sebentar ya kembalianya.”

Contoh keempat, terjadi kontak antara tukang parkir dan pengendara motor. Karena kondisi ini terjadi di kota Yogyakarta yang notabene banyak orang pendatang, maka si tukang parkir secara otomatis akan menanyakan dengan menggunakan bahasa indonesia kepada pengendara sepeda motor, walaupun didalam ujaranya masih tersisipi bahasa jawa yaitu, Niki. Berbeda lagi jika ini terjadi di kota pinggiran.
Jufri : “Mau tongkrong dimana?”
Jono : “Ya dimana saja yang penting tempatnya cozy”
Jufri : “Ok beroow”
Contoh kelima, dalam percakapan diatas terdapat campur kode cozy dan ok beroow, kata dalam bahasa inggris tersebut menyisip di dalam percakapan diatas. Penggunaan bahasa inggris dikalangan remaja untuk penggunaan istilah tertentu yang lazim digunakan dalam pergaulan remaja di masa kini.

3. Honorifik
  Istilah honorifik bisa diartikan sebagai ungkapan penghormatan. Shibatani (via Meshtrie, 2001: 552) menjelaskan bahwa honrifik merujuk pada bentuk linguistik yang digunakan sebagai tanda rasa hormat pada seseorang. Selain ituKridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorifik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan atau , yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Dari kedua penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa honorifik merupakan sebuah bentuk lingual yang digunakan sebagai tanda untuk menghormati lawan bicara. Bentuk lingual yang dimaksud di sini bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks (Brown dan Attardo, 2005: 77) seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi.
Contoh:
 a) Honorifik dalam bahasa Inggris
 Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut.
  1)Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
  2)Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama.

 b) Honorifik dalam bahasa Jawa
  1)Kowe arep lunga menyang ngendhi? 
  2)Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi?  
  3)Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi? 
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut  unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara. 

 c) Honorifik dalam bahasa Bugis
  1)Pole tegako?
  2)Pole Tegaki’?
Kedua kalimat di atas memiliki maksud yang sama yang menanyakan ‘kamu darimana’ namun untuk tingkat kesopanan, kalimat (b) memiliki tingkat kesopanan yang lebih baik.

 d) Honorifik dalam bahasa Indonesia
  1)Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
  2)Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
  3)Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
  1)Dia pergi lima menit yang lalu.
  2)Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
  1)Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
  2)Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
  3)Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
  4)Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.

4. Sapaan
  Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orangyang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.
Contoh:
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu: 
a. kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; 
b. nama diri, sepertiRidan dan Umi; 
c. istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; 
d. gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru; 
e. bentuk pe+kata kerjaatau kata pelaku,sepertipenonton dan pendengar; 
f. bentuk nominal+ ku seperti kekasihku dan Tuhanku;
g. kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; 
h. kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; 
i. ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.


Daftar Pustaka

Brown, Steven dan Attardo, Salvatore. 2005. Understanding Language Structure, Interaction, and Variation. Michigan: The University of Michigan Press
Chaer, Abdul dan Leonie, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: PerkenalanAwal. Jakarta. PT. RinekaCipta
Coulmas, Florian. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. California. Blackwell Publishing
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Kridalaksana,Harimurti . 2008. Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
Mesthrie, Rajend. 2001. Concise Encyclopedia of Sociolinguistic. Oxford: Elsevier Science Ltd.
Wardhaugh, Ronald dan Fuller, Janet M. 2015.An Introcuction to Sociolinguistis. UK. Wiley Black well
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.









0 komentar:

Posting Komentar